Monday, March 30, 2015

Dua Sayap Dua Muktamar

Kompas, 30 Maret 2015
 
Oleh: Hajriyanto Y Thohari

JAKARTA, KOMPAS - Dua organisasi massa besar dan tua, kalau bukannya yang terbesar dan tertua, Muhammadiyah (lahir 1912: 103 tahun) dan Nahdlatul Ulama (lahir 1926: 89 tahun), akan menggelar muktamar pada 2015.

Muktamar Ke-33 Nahdlatul Ulama (NU) akan berlangsung 16-21 Syawal 1436 H (1-5 Agustus 2015) di Jombang, sementara Muktamar Ke-47 Muhammadiyah berlangsung 18-22 Syawal 1436 H (3-7 Agustus 2015) di Makassar. Usia keduanya sama, besarannya nyaris sama, keduanya bermuktamar pada tahun yang sama, bulan yang sama, dan tanggal yang juga nyaris sama. Ini sebuah truisme belaka: takdir sejarah yang insya Allah membawa berkah.

Tema muktamar keduanya juga nyaris sama: NU "Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan Dunia", Muhammadiyah "Gerakan Pencerahan Menuju Indonesia Berkemajuan". Sebuah kemiripan yang juga truisme belaka: menggambarkan wilayah kepedulian yang mengatasi dan melintasi golongan, suku, etnis, dan agama. Kepedulian yang sudah pada level kebangsaan dan kemanusiaan universal.

Umat Islam, pemerintah, media, dan bangsa Indonesia menyambut antusiasme muktamar akbar ini. Apalagi mereka yang menyadari betapa besar peran kedua ormas ini dalam pendirian Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berdasarkan Pancasila ini. Sebagai arus utama (mainstream) Islam Indonesia, pendiriannya bahwa NKRI merupakan bentuk final dari cita-cita bernegara bukan hanya memberikan jaminan tetap tegaknya Pancasila, melainkan juga menenteramkan semua pihak. Ini saja sudah merupakan sumbangsih kaum nahdliyin dan muhammadiyin yang tiada ternilai harganya.

Dengan kematangan dalam berislam yang moderat dan toleran, serta pandangan kenegaraannya yang nasionalis dan patriotis, keduanya menjadi jangkar utama bangsa yang majemuk ini. Para pemimpin keduanya boleh datang dan pergi secara silih berganti, tetapi mereka selalu merupakan tokoh-tokoh bangsa yang mengutamakan negara di atas golongan. Sungguh tak terbayangkan bagaimana wajah Islam Indonesia jika bangsa ini tak memiliki NU dan Muhammadiyah. Meski mungkin saja tetap ditakdirkan menjadi negara yang mayoritas Muslim, besar kemungkinan Indonesia secara ideologi dan politik akan berkembang menjadi seperti yang terjadi di beberapa negara lain yang kaotik dan konfliktual.

Memang harus diakui masih ada persoalan mengenai hubungan antara Islam dan negara, tetapi berkat kedua gerakan Islam moderat dan nasionalistis ini, persoalan tersebut dapat dikelola secara lebih dingin dan tenang, jauh dari pergolakan.

Laksana dua sayap
Sebagai kekuatan masyarakat madani, Muhammadiyah dan NU juga merupakan tulang punggung proses demokratisasi Indonesia. Dalam konteks ini, negara harus menahan diri untuk tidak menarik (absorb) keduanya ke dalam negara. Keduanya harus dipertahankan seperti sekarang ini, sebagai reservasi sosial politik (socio-political reservoir) yang terus memosisikan dirinya sebagai perantara (broker) antara negara dan masyarakat. Negara jangan terlalu kuat di hadapan rakyat yang lemah, dan rakyat jangan terlalu kuat di hadapan negara yang lemah. Negara yang terlalu kuat akan cenderung otoriter dan totaliter, sementara rakyat yang terlalu kuat di hadapan negara yang lemah akan menjerembabkan anarkisme.

Maka, tidak berlebihan kalau mendiang Nurcholish Madjid mengibaratkan jika umat Islam Indonesia, bahkan Indonesia itu sendiri, seekor burung garuda, maka Muhammadiyah dan NU adalah kedua sayapnya.

Tatkala keduanya mengepak secara kompak, umat dan bangsa ini akan dibawanya terbang membelah angkasa menerjang badai menggapai cita-cita nasional, yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, mewujudkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Selama satu abad, Muhammadiyah dan NU dengan setia mengawal perjalanan bangsa mencapai tujuan nasional sebagaimana yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 itu. Pasalnya, tujuan tersebut sejatinya berimpitan secara organis dengan tujuan keduanya sejak didirikan oleh KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asy’ari, yaitu "menegakkan kalimah Allah" (li i’lai kalimatillah hiya l-'ulya) demi mewujudkan "kejayaan Islam dan umat Islam" (izzu ’l-Islam wa 'l-muslimin) sebagai "kasih sayang bagi seluruh alam" (rahmatan li 'l-'alamien) tanpa membedakan suku, etnis, dan agama.
Luar biasa mulia, luar biasa berat. Bagi keduanya, apa yang disebut umat, rakyat, penduduk, atau warga negara, pada hakikatnya merupakan entitas yang identik dan sama: bangsa Indonesia.

Tak versus, tak "vis a vis"
Saya optimistis terhadap masa depan relasi kedua gerakan Islam ini. Memang, dalam beberapa hal ada perbedaan pemahaman dalam berislam di antara keduanya, tetapi tidak ada sikap penyesatan teologis, apalagi permusuhan di sana. Sebab, keduanya memahami betul mengapa perbedaan itu terjadi.

Para ulama di kedua ormas ini menguasai betul manhaj, mazhab, dan konvensi keilmuan dalam memahami ajaran Islam secara utuh dan komprehensif. Maka, perbedaan yang terjadi sangatlah dewasa dan matang yang alih-alih memecah belah umat, malah memperkaya khazanah dan mosaik Islam Indonesia.

Saya tidak yakin ada orang NU yang anti Muhammadiyah, sebagaimana tidak ada orang Muhammadiyah yang anti NU. Jika dulu orang dengan simplistis menyimpulkan selalu ada sindrom NU versus Muhammadiyah, atau Muhammadiyah vis a vis NU, dalam berbagai lapangan kehidupan, kini nuansa seperti itu tidak ada lagi.

Apalagi dari rahim kedua ormas ini bermunculan banyak aktivis muda penggiat gerakan toleransi dan pluralisme garda depan sekaligus menjadi tulang punggung dari kekuatan anti sektarianisme dan intoleransi yang gigih. Maka, sangatlah absurd kalau di antara kedua ormas itu sendiri ada sikap saling mengeluarkan.

Pun lapangan kepedulian dan pengabdian keduanya tidak lagi berbeda. Muhammadiyah, yang dulu memelopori pendidikan klasikal dan modern, kini juga menggarap pendidikan pesantren. NU, yang dulu diidentikkan dengan pesantren, kini mendirikan universitas-universitas besar di hampir seluruh kota.

Dalam satu dekade ke depan kita akan menyaksikan puluhan atau ratusan universitas besar yang didedikasikan oleh keduanya untuk bangsa. ’Ala kulli hal, besar harapan bangsa diletakkan di pundak kedua sayap keindonesiaan ini. Semoga!

Hajriyanto Y Thohari
Wakil Ketua MPR RI 2009-2014

* Artikel ini sebelumnya tayang di Harian Kompas edisi Senin (30/3/2015).

http://nasional.kompas.com/read/2015/03/30/15050011/Dua.Sayap.Dua.Muktamar

Sunday, March 29, 2015

Internasionalisasi Muhammadiyah



Tabloid Kauman, Edisi 4: Maret - April 2015, h. 45-46.

Oleh Ahmad Najib Burhani*

Sejak Din Syamsuddin terpilih menjadi Ketua Umum Muhammadiyah tahun 2005, tema internasionalisasi Muhammadiyah sering menjadi bahasan dari organisasi yang didirikan KH Ahmad Dahlan ini. Hal ini sepertinya didasarkan pada kenyataan bahwa meski Muhammadiyah telah lahir sejak 1912, namun organisasi ini tidak banyak berkembang di luar negeri. Organisasi-organisasi Islam yang justru lahir lebih muda dari Muhammadiyah, seperti Jemaah Tabligh (1926), Ikhwanul Muslimin (1928), Hizbut Tahrir (1953), dan Ghulen Movement (1982) kini telah menyebar ke hampir seluruh dunia. Pertanyaanya, mengapa Muhammadiyah tak bisa seperti organisasi-organisasi itu? Apa yang menjadi kendala dari Muhammadiyah untuk menyebar ke negara lain?

Tentu saja tidak bisa dinafikan bahwa sejak 1957 telah berdiri Muhammadiyah di Singapura yang memiliki banyak sekali kemiripan dengan Muhammadiyah Indonesia, baik dari segi logo maupun aktivitasnya. Namun Muhammadiyah Singapura yang didirikan oleh Ustaz Rijal Abdullah dan Ustaz Amir Esa bukanlah cabang dari Muhammadiyah Indonesia. Tidak ada garis koordinasi ataupun komando antara Muhammadiyah Indonesia dan Singapura. Kalaulah ada hubungan, itu hanyalah persaudaraan sesama Muslim dan sesama organisasi Islam.

Sejak Din Syamsuddin memimpin Muhammadiyah, upaya internasionalisasi Muhammadiyah terus dilakukan. Diantaranya adalah dengan pendirian PCIM (Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah) di berbagai negara, seperti Jepang, Vietnam, Inggris, Amerika, Mesir, dan Belanda. Inilah makna pertama dari internasionalisasi Muhammadiyah yang selama ini sering dipahami. Namun demikian, keberadaan PCIM itu masih memiliki banyak keterbatasan. Anggota berbagai PCIM itu, misalnya, masih didominasi oleh orang Indonesia yang kebetulan berada di luar negeri seperti pelajar, pekerja, dan istri atau suami orang asing. Karena itu seringkali aktivitasnya sangat tergantung dari luangnya waktu kuliah atau bekerja.

Makna kedua dari internasionalisasi Muhammadiyah yang juga sering dipahami adalah partisipasi dalam berbagai organisasi internasional atau aktivitas di luar negeri. Ini misalnya seperti yang dilakukan oleh beberapa pimpinan Muhammadiyah seperti Din Syamsuddin, Abdul Mu’ti, dan Syafiq Mughni. Mereka terlibat dari beberapa pertemuan agama tingkat dunia, berbicara tentang Islam Indonesia di beberapa forum internasional, dan terlibat dalam aksi kemanusiaan serta filantropi dengan berbagai negara di dunia.

Makna ketiga dari gagasan internasionalisasi Muhammadiyah adalah menjalin hubungan akademik dengan berbagai institusi di luar negeri. Ini misalnya diwujudkan oleh berbagai universitas Muhammadiyah yang membangun kerjasama dengan universitas-universitas di luar negeri, mengadakan seminar dan konferensi internasional, memperkenalkan Muhammadiyah ke peneliti-peneliti asing, dan juga penerjemahan buku-buku berbahasa Indonesia ke bahasa asing.

Bila dibandingkan dengan organisasi semisal Jamaah Tabligh, Ikhwanul Muslimin, dan Ghulen movement, maka tentu banyak hal yang telah mereka lakukan tapi belum dilakukan oleh Muhammadiyah. Beberapa organisasi itu, seperti Jamaah Tabligh, aktif mengirimkan misionaris atau muballighnya ke berbagai negara untuk menyebarkan pemahaman Islam versi mereka. Mereka juga mendirikan sekolah-sekolah di berbagai negara dengan ciri khas pendidikan yang mereka kembangkan. Ghulen movement, contohnya, kini telah memiliki beberapa sekolah dengan sistem dan kekhasan pendidikan mereka di Indonesia, Australia, dan Amerika. Beberapa organisasi menerjemahkan dan menyebarkan buku-buku karya mereka ke berbagai bahasa di dunia. Ahmadiyah, misalnya, telah menerjemahkan Al-Qur’an dengan tafsir versi mereka kepada lebih dari 200 bahasa di dunia. Hizbut Tahrir merekrut banyak orang lokal dan mendirikan cabang-cabang di berbagai belahan dunia. Ini semua belum dilakukan oleh Muhammadiyah.

Selain alasan fastabiqul khairat dengan organisasi Islam lain, gagasan tentang internasionalisasi Muhammadiyah ini juga berangkat dari kesadaran bahwa globalisasi itu sudah tak dapat dielakkan lagi. Sayangnya, di tengah dunia yang global ini, Indonesia yang memiliki penduduk Muslim terbesar di dunia ternyata seringkali hanya menjadi konsumen berbagai paham dan pengaruh dari luar. Bangsa ini sepertinya hanya menjadi pasar bagi produk budaya dan pemikiran asing. Ketika Jemaah Islamiyah muncul, banyak orang Islam Indonesia yang berbondong-bondong bergabung dengan gerakan itu. Ketika ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) mendeklarasikan khilafahnya, sejumlah umat Islam dari Indonesia bergabung ke sana. Ketika Hizbut Tahrir berdiri di Indonesia, banyak mahasiswa Muslim yang bergabung dengannya. Jarang atau hampir tidak pernah dalam sejarah ketika umat Islam Indonesia bisa mempengaruhi atau memimpin umat Islam di dunia lain.

Seringkali para pemimpin Muslim negeri ini menunjukkan Islam di Indonesia adalah lebih baik atau tak kalah ortodoksinya dari Islam di negara lain. Karena itu, Islam ala Indonesia mestinya mampu “dijual” ke komunitas Muslim lain. Sayangnya, selama ini gagasan ini belum laku atau belum mampu meyakinkan orang Islam di luar Indonesia. Atau paling tidak, promosi yang dilakukan selama ini belum cukup berhasil. Ini juga yang menjadi dasar keinginan untuk terus melakukan internasionalisasi Muhammadiyah.

Sebagai penutup, tulisan ini ingin mengutip tiga konsep tentang internasionalisasi yang dikemukakan oleh Fred Halliday (1988) dalam artikelnya yang berjudul “Three Concept of Internationalism”. Barangkali tiga konsep ini bisa menjadi renungan ke arah mana internasionalisasi Muhammadiyah itu akan menuju. Pertama adalah “internasionalisme radikal” atau “internasionalisme revolusioner”. Intinya, konsep negara bangsa yang ada saat ini seringkali justru menciptakan berbagai ketimpangan di dunia. Karena itu, dunia yang satu perlu dibentuk.  Internasionalisme ini dijalankan dengan cara radikal untuk mengubah pola dunia. Ini diantaranya yang dilakukan oleh Hizbut Tahrir; Weltklasse,
Weltpartei, Weltrevolution dari Lenin; dan global jihad yang diusung Osama bin Laden.

Konsep kedua adalah “internasionalisme hegemonik”. Berbeda dari yang pertama, internasionalisme ini dilakukan justru menciptakan dunia yang asimetris atau tidak rata. Ini dilakukan dengan melakukan hegemoni pandangan atau ekonomi. Internasionaliasasi ini identik dengan kolonialisme. Hegemoni Bahasa Inggris, misalnya, ikut berpengaruh terhadap punahnya ribuan bahasa lokal. Penyebaran Wahabisme yang menolak pemahaman Islam yang berbeda adalah contoh lain dari internasionalisme hegemonik.

Konsep ketiga adalah “internasionalisme liberal”. Intinya, dalam dunia yang global ini semua umat manusia harus melakukan interaksi dan bekerja sama yang lebih baik demi tujuan kemanusiaan. Tujuan dari internasionalisasi bukanlah untuk melakukan hegemoni ataupun membuat perubahan dunia secara drastik, tapi melakukan kerjsama untuk menciptakan dunia yang damai.
-oo0oo-

*Peneliti LIPI dan pengelola blog muhammadiyahstudies.blogspot.com

Friday, March 20, 2015

Jihad Konstitusi ala Muhammadiyah

Jawa Pos, 18/03/15, 13:36 WIB

Dosen UIN Sunan Ampel, ketua Majelis Dikdasmen PW Muhammadiyah Jawa Timur

DALAM perspektif Islam, jihad berarti berusaha dengan sungguh-sungguh untuk melaksanakan segala sesuatu. Jihad memiliki akar kata yang sama dengan ijtihad, yakni jahd. Hanya, istilah ijtihad berasal dari hadis, sedangkan jihad dari Alquran. Meski demikian, substansi jihad dan ijtihad adalah mengerahkan seluruh tenaga, daya, dana, dan pikiran (total endeavor) sehingga terwujud nilai-nilai yang diridai Allah SWT.

Dalam sejumlah referensi dapat dipahami, jihad tidak harus dimaknai perjuangan fisik. Contohnya, pandangan Buya A.R. Sutan Mansur, ulama besar Sumatera Barat yang menjadi nakhoda Muhammadiyah periode 1952–1957. Beliau memaknai jihad dengan pengertian bekerja sepenuh hati. Makna itu sangat menarik karena jihad tidak dijelaskan dengan kata berperang, melainkan bekerja keras, bekerja cerdas, dan bekerja ikhlas.

Perspektif Buya Sutan Mansur ternyata begitu menginspirasi Muhammadiyah. Ajaran jihad diejawantahkan dalam bentuk berkarya untuk memperbaiki kondisi bangsa. Ibarat jarum jam, Muhammadiyah terus bergerak guna melahirkan amal-amal sosial yang bermanfaat bagi umat. Dengan memahami ajaran agama sebagai praksis sosial (a faith with action), Muhammadiyah terus berkarya dengan mendirikan sekolah, rumah sakit, panti asuhan, serta lembaga perekonomian.
Menariknya, saat memasuki abad kedua dari perjalanan sejarah organisasi ini, sangat tampak keinginan kuat untuk mengembangkan bidang dakwah dalam konteks kekinian. Salah satu yang patut dicatat adalah keberhasilan Muhammadiyah melakukan jihad konstitusi. Melalui jihad konstitusi, Muhammadiyah berjuang untuk meluruskan sejumlah perundang-undangan yang dianggap kurang berpihak kepada rakyat.

Sejak November 2012 hingga akhir Februari 2015, Muhammadiyah telah empat kali melakukan judicial review terhadap perundang-undangan yang terus memicu kontroversi. Empat UU yang di-judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK) adalah UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas, serta UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.

Hebatnya, seluruh jihad konstitusi Muhammadiyah melalui judicial review tersebut dikabulkan MK. Kini Muhammadiyah pun bersiap mengajukan judicial review terhadap UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal Asing. Prestasi Muhammadiyah saat melakukan judicial review terhadap sejumlah UU jelas sangat membanggakan.

Melalui tim pakar dan ahli hukumnya, Muhammadiyah telah mengkaji beberapa UU yang dianggap tidak prorakyat. Usaha itu kemudian ditindaklanjuti dengan mengajak beberapa tokoh nasional serta ormas untuk mengajukan judicial review terhadap UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas. Meski kedudukan hukum (legal standing) dan kompetensinya sebagai pemohon judicial review UU Migas sempat dipertanyakan, Muhammadiyah ternyata sukses memenangi gugatan di MK.

Harus diakui, sejauh ini, hampir tidak ada ormas apalagi ormas keagamaan yang berani mengambil peran dalam advokasi kebijakan. Biasanya, advokasi kebijakan hanya diperankan lembaga bantuan hukum atau lembaga swadaya masyarakat (LSM), baik dalam maupun luar negeri. Muhammadiyah memahami, pengajuan judicial review terhadap UU yang kurang berpihak kepada kepentingan rakyat merupakan bagian dari komitmen untuk meluruskan kiblat bangsa.

Bagi Muhammadiyah, pengelolaan sumber daya alam harus berorientasi pada kesejahteraan rakyat. Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin menegaskan, langkah menggugat beberapa UU yang kurang berpihak kepada rakyat itu merupakan bagian dari dakwah politik amar makruf nahi mungkar. Pertanyaannya, apa yang mesti dilakukan agar putusan MK efektif? Inilah pekerjaan rumah Muhammadiyah. Bersama pilar civil society lainnya, Muhammadiyah harus mengawal putusan MK.

Publik tentu masih ingat tatkala MK memerintah pemerintah membubarkan Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) sebagai konsekuensi pembatalan UU Migas. Saat itu, pemerintah hanya mengganti nama BP Migas dengan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas). Padahal, dalam amar putusannya, MK memutus bahwa BP Migas yang diatur dalam UU Migas tidak memiliki kekuatan hukum sehingga harus dibubarkan. UU Migas juga berpotensi memicu liberalisasi pengelolaan migas karena intervensi perusahaan asing.

Perubahan casing BP Migas menjadi SKK Migas oleh pemerintah jelas tidak menyelesaikan masalah. Sebab, kenyataannya, SKK Migas tetap berpotensi menjadi sarang koruptor. Karena itu, tidak mengherankan jika di kemudian hari kepala SKK Migas ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam operasi tangkap tangan dengan tuduhan menerima suap dari perusahaan asing.
Karena itu, kemenangan Muhammadiyah dalam jihad konstitusi harus benar-benar ditindaklanjuti. Jangan sampai amar putusan MK yang memenangkan gugatan Muhammadiyah atas sejumlah UU tersebut tidak dijalankan pemerintah dan DPR. Harus dipastikan bahwa pemerintah dan DPR benar-benar menaati putusan MK sehingga UU yang dibuat tidak lagi bertentangan dengan semangat nasionalisme.

Semoga jihad konstitusi ala Muhammadiyah menjadi penyemangat bagi organisasi tersebut untuk terus berkiprah. Itu berarti jihad konstitusi juga bisa menjadi salah satu topik yang menarik dibicarakan dalam Muktamar Ke-47 Muhammadiyah di Makassar, 3–7 Agustus 2015. (*)


http://www.jawapos.com/baca/opinidetail/14472/Jihad-Konstitusi-ala-Muhammadiyah

Sunday, March 1, 2015

Jihad Konstitusi ala Muhammadiyah

Published On: Thu, Jul 31st, 2014


Muslimdaily.net -Di negeri ini banyak peraturan yang dibuat oleh para pemangku jabatan baik di pusat maupun di daerah. mulai dari Undang-Undang, Tap MPR, Perda Syariah hingga Perwali. Adakalanya peraturan yang dibuat itu sudah sesuai dengan kebutuhan masyarakat, sebagian lainnya dipandang memuat pasal-pasal multi tafsir bahkan merugikan kalangan tertentu, sehingga rawan digugat ke Mahkamah konstitusi (MK). Baru –baru ini, Undang-Undang no 42 tahun 2008 tentang Pilpres digugat oleh pakar hukum tata negara Prof. Yusril ihza mahendra (Koran Surya 22/1/2014). Di lain pihak, UU 42/2008 tentang Pilpres ini juga digugat Efendi ghazali bersama Koalisi Masyarakat untuk Pemilu Serentak. MK memutuskan penyelenggaraan pileg dan pilpres serentak baru bisa diterapkan pada 2019. Dengan pemilu serentak, keuntungannya bisa menghemat waktu dan biaya. Tak hanya itu saja, dampak putusan MK ini membuat ambang batas pencalonan presiden yang sekarang minim 20% otomatis tidak berlaku. Maka dari itu setiap parpol yang berlaga di pemilu 2019 bisa mengusulkan capres masing-masing (Koran Surya 24/1/2014).

Adapun kerugian dari pemilu serentak ialah Parpol makin mengandalkan ketokohan dan tahapan pemilu lebih kompleks (Kabar pemilu TV One 24/1/2014).

Berbicara tentang Yusril, apabila kita telusuri kiprahnya dalam menggugat ketidakberesan implementasi hukum di negeri ini, total sudah 7 kali memenangkan judicial review di MK (Net TV 2/2/2014). Dia pernah memenangkan gugatan atas status jabatan Jaksa agung Hendraman Supanji. Di luar MK misalnya ketika berperkara di PTUN, dia menang atas putusan KPU yang mana Partai PBB sempat diputuskan tidak lolos verifikasi faktual. Yang paling fenomenal, Yusril lolos dari kasus korupsi Sisminbakum. Bukan karena suap melainkan karena pihak Kejaksaan masih minim bukti. Apa yang dilakukan oleh Yusril sebetulnya juga dilakukan oleh Ormas Muhammadiyah melalui Ketua umumnya M. Din syamsuddin.

Artikel ini akan mendeskripsikan peranan Muhammadiyah dalam mengkritisi dan menggugat Undang-undang yang merugikan dirinya, kepentingan negara dan masyarakat pada umumnya ke MK. Karena mekanisme ormas sudah kalah oleh mekanisme partai, maka menurut pihak Muhammadiyah hal ini perlu ditempuh. Inilah sebuah misi yang dinamakan “jihad konstitusi”. Misi ini dijadikan pula dalam agenda tajdid Muhammadiyah ketika menginjak umur seabad (Koran fakta 15/11/2012).

Sebetulnya Muhammadiyah melalui elitnya tidak hanya mengkritisi tetapi juga memback-up sebuah Undang-Undang yang sudah sesuai untuk kebutuhan masyarakat khususnya umat Islam. Undang-undang yang penulis maksud adalah UU PNPS tahun 1965. Muhammadiyah, NU beserta ormas Islam lainnya bersatu padu dalam membendung agenda kalangan liberal dalam Judicial review Undang-Undang No. 1 tahun 1965 tentang Pencegahan Penodaan agama (PPA). Boleh dibilang ini adalah peluru terakhir dari kalangan liberal yang tergabung dalam sebuah LSM bernama AKKBB, Setara, Desantara dan lain-lain. Dalam gugatannya, kalangan liberal meminta kepada MK untuk mencabut keberadaan lima norma dalam UU Penodaan agama, yakni pasal 1 mengenai larangan menyebarkan agama yang berbeda dengan penafsiran agama yang dianut di Indonesia. Kemudian pasal 2 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 3 dan pasal 4a. Para pemohon dari kalangan liberal itu juga berargumen UU PNPS ini bentuk diskriminasi yang bertentangan dengan Hak asasi manusia (Adian husaini dkk, 2010). Pasalnya jika gugatan ini gagal maka cita-cita kebebasan beragama yang mereka usung pasti buyar dan kucuran dana dari Barat akan terhenti. Untungnya MK menolak gugatan kalangan liberal tersebut.

Prestasi fenomenal Muhammadiyah adalah ketika menang gugatan terhadap UU Migas. Gugatan itu didasari karena kebijakan pemerintah dan juga regulasi yang kurang berpihak pada pembentukan kesejahteraan. Apalagi dalam bidang ekonomi, terlalu membuka pintu bagi asing.  Hasil dari dikabulkannya permohonan ini adalah pembubaran BP Migas (detiknews 16/11/2012). Pasca bubar, beberapa saat kemudian berganti nama menjadi SKK Migas. Sayangnya, lembaga baru ini juga tak sepi dari kasus suap yang melibatkan mantan kepala SKK Migas Rudi rubiandini dan bos Kernel Oil.
Setelah sukses dengan UU Migas, Muhammadiyah menggugat UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Beberapa Pasal yang digugat adalah Pasal 7 ayat (4), Pasal 17, Pasal 21, Pasal 25 ayat (5), Pasal 62, Pasal 63 ayat (2) dan ayat (3), serta Pasal 64 ayat (1). Pasal-pasal ini mewajibkan rumah sakit harus dikelola di bawah naungan badan hukum yang bergerak di bidang perumahsakitan (merdeka 18/4/2013). Din Syamsuddin menilai aturan dalam pasal tersebut merugikan karena membuat banyak rumah sakit Muhammadiyah tidak bisa beroperasi, jika rumah sakit serta klinik milik Muhammadiyah telah habis masa izin prakteknya maka tidak bisa diperpanjang. Oleh karena itu, dalam permohonannya, Muhammadiyah meminta kepada MK untuk membatalkan pasal-pasal yang digugat.

Selain UU Rumah sakit, Muhammadiyah berada digarda terdepan dalam menggugat UU Ormas. Muhammadiyah menilai UU tersebut terlalu mengikat kebebasan berserikat. Sikap konsisten Muhammadiyah dalam menolak UU Ormas ini berpengaruh kepada Partai Amanat Nasiaonal yang diketahui memiliki kedekatan emosional dengan ormas terbesar kedua di Indonesia. Dalam sidang Paripurna, Sebanyak 6 faksi yakni Demokrat, Golkar, PDIP, PKS, PPP, dan PKB mendukung pengesahan UU Ormas, hanya Fraksi PAN beserta Gerindra dan Hanura yang menolak. Uniknya saat perwakilan dari fraksi PAN menjelaskan penolakan partai akan UU Ormas ini, sempat terdengar teriakan “Pecat besan!” dari salah seorang legislator, entah dari fraksi mana. Ketua Umum PAN Hatta Rajasa memang dikenal sebagai besan Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (Koran Surya 3/7/2013).

Jihad Konstitusi ala Muhammadiyah perlu kita dukung karena masih banyak aturan-aturan dan kebijakan yang sifatnya diskriminatif serta menguntungkan kalangan tertentu. Bisa penulis sebutkan misalnya: larangan berjilbab bagi Polwan, Kontroversi Pekan Kondom Nasional (PKN) yang dicanangkan oleh Menkes Nafsiah Mboi, hingga Program Jaminan Kesehatan Nasional yang sejatinya bukan jaminan kesehatan nasional, akan tetapi sistemnya seperti asuransi kesehatan nasional. Ormas-ormas Islam lainnya maupun para akademisi di  kampus dan praktisi di LSM perlu mengikuti jejak Muhammadiyah. Bukankah ini bagian dari amar ma’ruf nahi munkar?. Wallahu’allambishowab

Penulis: Fadh Ahmad Arifan (Dosen STAI al-Yasini, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur)

http://www.muslimdaily.net/opini/jihad-konstitusi-ala-muhammadiyah.html