Wednesday, August 5, 2015

Muktamar NU-Muhammadiyah dan Harapan Dunia

Oleh Irwan Amrizal

Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah kini masih menggelar muktamar. Tak hanya umat Islam Indonesia yang menaruh harapan tapi juga dunia. Tema yang diangkat NU dan Muhammadiyah pada muktamar kali ini sejatinya dapat melembagakan harapan banyak pihak pada Islam Indonesia atau Nusantara.

Bukan tanpa maksud NU mengangkat tema ‘Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan Dunia’ pada muktamar kali ini. Melalui tema ini NU hendak menunjukkan adanya kesadaran baru orientasi keberislaman: NU tidak hanya didedikasikan untuk Indonesia, tapi juga untuk dunia. Dengan kata lain, NU ingin mengubah orientasi keberislamannya dari ‘importir’ jadi ‘eksportir’; dari ‘konsumen’ jadi ‘produsen’ (Rumadi Ahmad, Harian Kompas, 31 Juli 2015).

Kesadaran baru itu berangkat dari beberapa fakta. Pertama, Timur-Tengah yang selama ini menjadi kiblat dalam melihat dunia Islam sedang berada dalam instabilitas politik yang parah. Musim Semi Arab yang berembus di berbagai belahan dunia Islam sejak 2010 ternyata tak sepenuhnya membawa perubahan mencerahkan. Tak sedikit kawasan Timur-Tengah yang masih terus bergolak, saling berperang, saling bunuh, yang sebagian besar dilakukan sesama umat Islam. Munculnya negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) juga menjadi tambahan persoalan.

Kedua, secara internasional sekarang ini sedang terjadi pergeseran geopolitik dan peta aliansi dalam merespons berbagai persoalan. Meski sejumlah kalangan masih ada yang beranggapan Islam sebagai ancaman terhadap nilai-nilai modernitas, harus diakui –dalam perkembangan global mutakhir– Islam memiliki peran sangat penting dalam menentukan arah perubahan dunia. Islam juga semakin berkembang di berbagai belahan dunia, baik kuantitatif maupun kualitatif. Di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Perancis, Inggris, dan Jepang, Islam menduduki peringkat tertinggi dalam perkembangan dan penambahan jumlah pemeluk, baik karena migrasi maupun konversi.

Dalam simulasi riset lembaga Pew Research Center (PRC) pada April 2015 yang berjudul The Future of World Religions: Population Growth Projections 2010-2050 disebutkan bahwa tren pertambahan jumlah umat Islam secara demografis dalam beberapa tahun ke depan tumbuh secara signifikan.

Pada 2010, misalnya, populasi delapan agama mayoritas di dunia: Kristen 31,4 persen, Islam 23,2 persen atau 1,6 miliar pemeluk, Hindu 15 persen, Buddha 7,1 persen, agama lokal 5,9 persen, Yahudi 0,2 persen, agama tak berafiliasi (unaffiliated) 16,4 persen seperti ateisme dan agnostik, dan agama lain (0,8 persen). Sementara pada 2050, populasi umat Islam menanjak paling tinggi menjadi 29,7 persen (2,76 miliar pemeluk). Kristen stabil di angka 31,4 persen. Persentase umat Islam dan Kristen diperkirakan sama pada 2070 (32,3 persen). Tiga dekade berikutnya, 2100, umat Islam menjadi 34,9 persen dan Kristen 33,8 persen.

Dengan pertambahan jumlah umat Islam yang luar biasa itu, Indonesia sebagai negara mayoritas umat Islam terbesar di dunia, dan NU sebagai organisasi berbasis massa Islam yang (juga diklaim) terbesar di dunia, tentu berkepentingan dengan perubahan peta dunia itu. NU berkepentingan untuk memastikan perkembangan Islam itu menuju ke arah perdamaian dan bukan menjadi ancaman.

Adapun tema yang diangkat Muhammadiyah adalah ‘Gerakan Pencerahan Menuju Indonesia Berkemajuan’. Sebelum 2009 slogan ini jarang terdengar bahkan di kalangan Muhammadiyah sendiri. Ia baru diperkenalkan kembali, setelah cukup lama terpendam, dengan terbitnya buku berjudul Islam Berkemajuan: Kyai Ahmad Dahlan dalam Catatan Pribadi Kyai Syuja (2009). Buku yang ditulis oleh murid langsung Kyai Dahlan ini di antaranya menjelaskan seperti apa karakter Islam yang dibawa oleh Muhammadiyah (Najib Burhani, Harian Sindo, 3 Juli 2015).

Istilah yang dipakai oleh Muhammadiyah awal untuk menyebut dirinya adalah ‘Islam berkemajuan’. Pada Muktamar di Yogyakarta 2010, istilah ini lantas dipakai dan dipopulerkan untuk mengidentifikasi karakter keislaman Muhammadiyah. Dalam kaitannya dengan globalisasi, Islam berkemajuan itu sering dimaknai sebagai ’Islam kosmopolitan’, yakni kesadaran bahwa umat Muhammadiyah adalah bagian dari warga dunia yang memiliki ‘rasa solidaritas kemanusiaan universal dan rasa tanggung jawab universal kepada sesama manusia tanpa memandang perbedaan dan pemisahan jarak yang bersifat primordial dan konvensional’.

Dalam konteks ini, globalisasi dipahami sebagai proses penyatuan dunia di mana waktu, jarak, dan tempat bukan lagi persoalan dan ketika setiap hal dan setiap orang di bumi ini terkait satu sama lain. Ada empat pergerakan utama dalam globalisasi, yaitu barang dan layanan, informasi, orang, dan modal. Perpindahan empat hal tersebut dari satu negara ke negara lain memang telah terjadi sejak dahulu kala.

Namun, perpindahan dengan sangat cepat hanya terjadi setelah revolusi dalam teknologi telekomunikasi dan transportasi pada beberapa dekade belakangan ini. Akibat dari revolusi itu, dimensi jarak dan waktu menjadi semakin kabur dan sedikit demi sedikit menghilang. Dalam konteks Indonesia, globalisasi ini menyebabkan masyarakat secara mudah mengakses informasi dari luar ataupun berinteraksi secara intens dalam sebuah ruang global.

Ketika Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) mendeklarasikan kekhilafahan di bawah Abu Bakar al-Baghdadi, kita dikejutkan dengan ada sejumlah orang Indonesia yang sudah bergabung dengan mereka di Timur-Tengah dan sebagian dari mereka merekrut anggota di Indonesia serta melakukan baiat di Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta. Ketika konflik Sunni dan Syiah terjadi di Suriah, pengaruhnya merembet ke Indonesia dengan munculnya gerakan anti- Syiah seperti dalam bentuk Aliansi Nasional Anti-Syiah (ANNAS).

Filosofi yang mendasari globalisasi adalah asimilasionisme. Dalam filosofi ini, yang kuat akan mendominasi yang lemah. Maka itu, dalam globalisasi budaya, salah satu dampaknya adalah homogenisasi. Ini, misalnya, terwujud dalam bentuk McWorld atau McDonaldization. Contoh lainnya adalah memandang Islam secara homogen dengan mengidentikkannya dengan Arab dan arabisasi.

Mengapa Islam kosmopolitan menjadi pilihan Muhammadiyah? Muhammadiyah menyadari bahwa kelahirannya merupakan produk dari interaksi Timur-Tengah dan Barat yang dikemas menjadi sesuatu yang otentik di Indonesia. Ia memadukan pemikiran Muhammad Abduh, sistem yang berkembang di Barat, dan karakter Indonesia. Karena itu, kosmopolitanisme yang dikembangkan Muhammadiyah diharapkan menjadi wahana untuk dialog antarperadaban.

Melembagakan Harapan

Tema yang diangkat NU dan Muhammadiyah pada muktamar kali ini sejatinya melembagakan harapan banyak pihak pada Islam Indonesia yang umumnya seringkali direpresentasikan pada NU dan Muhamadiyah. Harapan-harapan itu disampaikan, baik oleh umat Islam Indonesia sendiri maupun sejumlah tokoh dunia. Pada awal November 2013, misalnya, tokoh termuka asal Malaysia Anwar Ibrahim memberikan pujian dan berharap Islam Indonesia bisa memberikan kontribusi bagi umat Islam dunia yang sekarang ini kesulitan menentukan arah tujuannya.

Empat tahun sebelumnya, harapan serupa disampaikan Presiden AS Barrack Obama dalam pidatonya di Universitas Al-Azhar pada 2009. Dan pada dekade 80-an sarjana Muslim terkemuka asal Pakistan, Fazlur Rahman memberikan harapan yang sama. Rahman bahkan mengatakan bahwa umat Islam Indonesia tidak perlu bersikap inferior. Sebab, baginya, Islam Indonesia sama otentiknya dengan Islam yang berkembang di Arab atau di anak benua India, khususnya Pakistan.

Harapan dan dukungan bagi kemajuan Islam Nusantara sudah disampaikan. Kini, tinggal umat Islam Indonesia, khususnya NU dan Muhammadiyah, merespon harapan itu dan memastikan bahwa harapan itu bukan hal yang berlebihan. Dan muktamar adalah momen yang tepat untuk melembagakan dan merumuskan langkah yang tepat untuk menjemput harapan itu.[]

http://www.madinaonline.id/khazanah/muktamar-nu-muhammadiyah-dan-harapan-dunia/

No comments:

Post a Comment