Thursday, February 26, 2015

Teologi Mustad’afin di Indonesia: Kajian atas Teologi Muhammadiyah

Jurnal TSAQAFAH, Vol. 7, No. 2, Oktober 2011, hal. 345-374.

Sokhi Huda
Institut Keislaman K.H. Hasyim Asy’ari (IKAHA) Jombang
Email: sokhihuda81@gmail.com

Abstract
Mustad’afin Theology in Indonesia is the new face of al-Ma’un theology initiated by the Ahmad Dahlan. It eventually accumulates with more extensive issues and involves partnerships with other parties in order to achieve its praxis strategy. The basic assumption of this theology is that the practice of worship must be directly related to social concerns, with a foundation of monotheism
that manifests itself into the realm of praxis. This finally leads to the key words of “social unity” and “social rituals” which are then developed in the context of contemporary nationhood and statehood in Indonesia. Moreover, its epistemology primarily comes from: (1) Wahhabi-Salafi ideology of Rashid Rida, (2) the idea of education reform of Muhammad ‘Abduh, and (3) theology of al-Ma’un of Ahmad Dahlan. These three basic epistemologies are equipped with a significant adaptation to seven factors, in order to be accepted as a theology of liberators movement in Indonesia. The performance of Mustad’afin theology is a theology that does social defense for the following conditions: (1) oppression of faith, (2) retardation, (3) suffering of economic and social status, (4) moral suffering, and (5) the threat of theologies and the existence of Indonesia. Finally, it implies the necessity of Mustad’afin Islamic Jurisprudence to regulate the conduct of worship and social community. Furthermore, the exclusive part of Wahhabi-Salafi Islamic jurisprudence is no longer posed.

Teologi Mustad’afin di Indonesia adalah wajah baru dari teologi al-Ma’un yang diprakarsai oleh Ahmad Dahlan. Teologi tersebut terakumulasi pada isu-isu yang lebih luas dan melibatkan hubungan dengan pihak lain dalam rangka untuk mencapai strategi praksisnya. Asumsi dasar dari teologi ini adalah bahwa praktik ibadah harus langsung terkait dengan masalah sosial, dengan landasan tauhid yang memanifestasikan dirinya ke dalam wilayah praksis. Hal ini akhirnya mengarah pada kata-kata kunci, seperti “kesatuan sosial” dan “ritual sosial” yang kemudian dikembangkan dalam konteks kebangsaan dan kenegaraan kontemporer di Indonesia. Lebih lanjut, epistemologi pada teologi Mustad’afin utamanya berasal dari: (1) ideologi Wahhabi-Salafi Rasyid Ridha, (2) pemikiran reformasi pendidikan Muhammad Abduh, dan (3) teologi al-Ma’un dari Ahmad Dahlan. Ketiga epistemologi dasar ini dilengkapi dengan adaptasi yang signifikan terhadap tujuh faktor, agar dapat diterima sebagai gerakan teologi pembebas di Indonesia. Akhirnya disimpulkan, bahwa kinerja Teologi Mustad’afin adalah teologi yang melakukan pertahanan sosial untuk kondisi berikut: (1) penindasan iman, (2) retardasi, (3) penderitaan ekonomi dan status sosial, (4) keterpurukan moral, serta (5) ancaman teologi dan ancaman bagi persatuan Indonesia. Hal ini mengisyaratkan perlunya fiqh Islam Mustad’afin untuk mengatur perilaku ibadah dan sosial masyarakat. Sehingga, bagian eksklusif dari hukum Islam Wahhabisalafi tidak lagi dikedepankan.

Keywords: Teologi Mustad’afin, fikih Mustad’afin, teologi Profetik, teologi Pembebasan, strategi praksis.

Download file

Wednesday, February 25, 2015

Mitsuo Nakamura dan Konsistensi Mengkaji Muhammadiyah

MATAN, Edisi 104, Maret 2015, hal: 56-57.

Oleh Ahmad Najib Burhani*

Jika menyebut kajian tentang Muhammadiyah, maka kita tak akan pernah bisa melewatkan nama Mitsuo Nakamura, emeritus profesor dari Chiba University, Jepang. Sejak mengambil program PhD di Cornell University, Amerika Serikat, Nakamura mendedikasikan hampir seluruh hidupnya untuk mengkaji Muhammadiyah. Memang ada beberapa profesor lain yang cukup banyak menulis tentang gerakan modernis ini, seperti James L. Peacock, Herman Beck, dan Hyun-Jun Kim. Namun saya kira tidak ada peneliti asing lain yang memiliki kepedulian terhadap Muhammadiyah melebihi yang dimiliki oleh Nakamura.

Meski usianya sudah lebih dari 80 tahun (lahir 19 Oktober 1933), namun ia masih terus aktif menghadiri Muktamar Muhammadiyah yang diselenggarakan setiap lima tahun. Untuk Muktamar ke-47 yang diselenggarakan di Makasar bulan Agustus 2015 ini, Nakamura pun sudah mempersiapkan diri untuk hadir bersama istrinya, Hisako Nakamura. Membutuhkan stamina yang luar biasa untuk terbang lebih dari tujuh jam dari Tokyo ke Jakarta dan berlanjut ke Samarinda untuk orang seusia Nakamura. Konsistensi, kegigihan, dan semangat seperti ini yang patut di tiru oleh para peneliti Indonesia.

Seperti pernah diceritakan kepada penulis, sebagai spesialis tentang Islam di Indonesia, Nakamura pernah merasa kesepian di lingkungan akademisi di Jepang pada tahun 1980-an. Sedikit sekali orang yang memiliki minat yang sama dengan dirinya. Tidak banyak dana penelitian diberikan untuk kajian seperti yang ia lakukan. Kondisi seperti ini yang kadang membuat beberapa akademisi kemudian beralih fokus kajian. Namun itu tidak terjadi pada Nakamura, ia tetap konsisten dengan kajian yang dipilih. Karena itulah ia kini menjadi orang yang selalu dirujuk ketika berbicara tentang Islam di Indonesia, terutama Muhammadiyah.
Jika kita hendak pergi ke Jepang untuk melihat kajian tentang Islam di Asia Tenggara, maka Nakamura adalah satu pilar utamanya. Jika kita sudah diperkenalkan olehnya ke berbagai institusi di Jepang, maka semuanya akan menjadi lancar. Ini yang dialami penulis ketika mendapat tugas dari LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) untuk membangun kerjasama dengan berbagai universitas di Jepang. Berkat bantuan Nakamura, tim LIPI bisa melakukan pertemuan dan pembicaraan awal dengan Tokyo University, Rikkyo University, Tokyo University of Foreign Studies, dan beberapa universitas lain di Jepang.

Mengenai karya tulis, buku Nakamura tentang Muhammadiyah yang paling terkenal dan paling sering menjadi referensi adalah disertasinya yang berjudul The crescent arises over the banyan tree: a study of the Muhammadijah movement in a Central Javanese town. Disertasi setebal 366 halaman ini selesai ditulis dan diserahkan ke Cornell University tahun 1976. Jika tahun penulisan disertasi itu dipakai sebagai patokan dari masa Nakamura mulai mengkaji Muhammadiyah, maka hingga tahun 2015 ini Nakamura sudah mencapai 40 tahunan menggeluti organisasi yang didirikan KH Ahmad Dahlan tahun 1912 lalu ini.

Pada tahun 1983, disertasi ini kemudian diterbitkan menjadi buku setebal sekitar 250 halaman oleh Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Edisi Bahasa Indonesia dari buku ini berjudul Bulan sabit muncul dari balik pohon beringin: Studi tentang pergerakan Muhammadiyah di Kotagede, Yogyakarta dengan ketebalan sekitar 280 halaman. Edisi ini diterjemahkan oleh Yusron Asrofie dan diterbitkan juga oleh Gadjah Mada University Press tahun 1983.

Tahun 2012, versi yang diperpanjang dan diperbarui dari buku tersebut diterbitkan ulang oleh Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS) Singapura dengan judul The crescent arises over the banyan tree: A study of the Muhammadiyah movement in a central Javanese town, c.1910s-2010 (Second Enlarged Edition). Jika terbitan sebelumnya hanya memotret secara antropologis kondisi Muhammadiyah di Kotagede hingga tahun 1976, edisi terbitan Singapore ini menambah bahasan dari tahun 1976 hingga 2010. Nakamura memasukkan perkembangan Muhammadiyah selama 35 tahun di Kotagede dan menjadikannya sebagai bagian kedua dari buku itu. Makanya, dari segi ketebalan, edisi ini memiliki 429 halaman.

Selain magnum opus itu, Nakamura juga menulis sejumlah artikel dan book chapter (bab buku) tentang Muhammadiyah. Diantara tulisan itu ada yang berkaitan dengan sufisme yang berjudul Sufi elements in Muhammadiyah? Notes from field observation, ada yang berkaitan dengan tokoh gerakan ini “Professor Haji [Abdul] Kahar Muzakkir and the development of the reformist movement in Indonesia”, ada yang melakukan perbandingan dengan Ghulent Movement dari Turki dengan judul “Rationality and enlightenment: A comparison of educational reforms promoted by Gülen Movement and Muhammadiyah,” dan seterusnya.

Sebetulnya karya Nakamura tentang Muhammadiyah tidaklah terlalu banyak. Namun itu tak mengurangi kepakarannya tentang Islam di Indonesia, khususnya tentang Muhammadiyah. Dan lagi, nilai seorang akademisi itu memang tidak hanya diukur dari bertumpuk-tumpuknya karya tulis yang dihasilkan. Seseorang bisa dianggap sebagai pakar jika karyanya, meski sedikit, sering menjadi referensi atau rujukan bagi karya-karya yang lain. Istilahnya, karya akan dinilai tinggi bila ia memiliki impact factor yang tinggi. Ini biasanya dilihat dari berapa banyak karya itu dikutip oleh orang lain. Intelektual semisal Talal Asad juga tak terlalu banyak menulis buku. Namun buku-buku dan artikel yang ditulisnya selalu ditunggu, menjadi referensi, dan inspirasi bagi akademisi lain. Marshall G. S. Hodgson, ahli Islam ternama dari Universitas Chicago, adalah contoh lain akademisi yang tidak banyak melahirkan karya (karena meninggal muda), namun pengaruh dari buku yang ditulis menyebar luas dan bahkan masih dipakai hingga sekarang. Demikian pula halnya dengan karya-karya Nakamura.

Satu hal lagi, karya seorang akademisi juga tidak semata dilihat dari karya tulisnya, tapi juga seberapa banyak atau seberapa berhasil murid-murid yang dibimbingnya. Mungkin saja seorang profesor hanya menulis buku secukupnya, namun mahasiswa bimbingannya merasa betul-betul dididik olehnya dan banyak muridnya yang berhutang budi akademik kepadanya. William Liddle, misalnya, dikenal sebagai profesor yang memiliki banyak murid dan orang yang bertangan dingin dalam membimbing murid-muridnya. Ini tentu berbeda dari Clifford Geertz yang memiliki banyak karya berpengaruh namun memiliki sedikit murid. Nah,dalam konteks murid ini, Nakamura juga tak banyak memiliki murid. Ada beberapa muridnya yang menjadi spesialis Indonesia, seperti Aoki Takenobu. Namun dari Indonesia, Nakamura hampir tak memiliki penerus kecuali penulis artikel ini sendiri (jika bisa disebut sebagai murid).

Pertemuan pertama penulis dengan Nakamura terjadi pada acara World Peace Forum (WPF) di Jakarta tahun 2005. Ketika itu hanya terjadi sekilas pembicaraan tentang bukunya The crescent arises over the banyan tree. Pertemuan dan komunikasi yang cukup intensif terjadi enam tahun setelah itu, yaitu Oktober 2011, ketika Nakamura mengajak penulis untuk membantunya menyelenggarakan IRCM (International Research Conference on Muhammadiyah). Sejak itulah komunikasi dan pertemuan cukup sering terjadi. Ratusan korespondensi melalui email untuk membicarakan berbagai hal tentang Muhammadiyah terjadi. Pertemuan pun sering dilakukan, baik di Jepang, Jakarta, Malang, dan Yogyakarta. Bahkan beberapa kali penulis pergi bersama Nakamura, termasuk mengunjungi makan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) di Jombang, Jawa Timur) pada Desember 2012.

Memang, hubungan penulis dengan Nakamura tidak dalam bentuk hubungan mahasiswa S3 yang sedang menulis disertasi dengan pembimbingnya. Namun hubungan yang selama ini terjadi tidak kalah dengan hubungan dalam konteks akademik mahasiswa doktoral dengan profesornya. Banyak ilmu dan kebijakan yang penulis ambil dari Nakamura selama menjadi “cantrik”-nya. Misalnya, ketika menghadapi orang yang ditunggu-tunggu emailnya namun ia terlalu lambat dalam merespon, Nakamura tidak marah kepadanya. Ia mengawali email dengan mengatakan, “Saya yakin no news is a good news”.

Kedekatan penulis dengan Nakamura ini barangkali yang membuat Nakamura berkirim email ke penulis ketika dia mengalami krisis kesehatan dan merasa ajalnya sudah begitu dekat. Ini terjadi pada Juli 2013 lalu. Dia mengatakan, “my health problem has turned out to be rather serious – ‘kapan saja akan dipanggil’. Ketika itu dia menderita kanker prostat dan tidak mungkin dilakukan operasi karena umurnya sudah 80 tahun dan tidak memungkinkan pula melakukan terapi radiasi karena efek sampingnya. Itulah yang menyebabkannya berpikir bahwa umurnya tinggal beberapa bulan lagi. “Semoga masih diberikan waktu buat saya [bukan] dalam tahunan melainkan dari bulanan”, begitu Nakamura menulis surat pada 1 Juli 2013. Namun berkat kemajuan teknologi kedokteran di Jepang, penyakit Nakamura bisa disembuhkan dengan terapi hormone. Setelah melewati masa kritis itu, kini Nakamura bisa melanjutkan aktivitas akademiknya lagi dan akan kembali menjadi saksi untuk Muktamar Muhammadiyah tahun ini.
-oo0oo-

*Peneliti LIPI dan pengelola blog www.muhammadiyahstudies.blogspot.com


Tuesday, February 24, 2015

Perkembangan Muhammadiyah di Mojokerto 1990-2012

AVATARA, e-Journal Pendidikan Sejarah Volume 1, No. 3, Oktober 2013, h. 493-502

Maftuh Afnan
Jurusan Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Surabaya
E-mail : citukduatujuh@rocketmail.com
Aminuddin Kasdi
Jurusan Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Surabaya

Sejak berdirinya organisasi Muhammadiyah telah menampilkan diri sebagai suatu fenomena yang unik dalam kehidupan keagamaan di Indonesia. Sebagai gerakan sosial, pendidikan, dan dakwah selama lebih dari satu abad. Muhammadiyah Mojokerto yang didirikan pada 17 april 1932 tidak mengalami perkembangan yang menonjol. Sampai tahun 1990 Muhammadiyah Daerah Mojokerto memiliki beberapa cabang, baru pada tahun 1990 Muhammadiyah Daerah Mojokerto menunjukkan perkembangan signifikan. Dengan berdirinya cabang-cabang Muhammadiyah yang ada di hampir setiap kecamatan yang ada di Mojokerto. Berdasarkan hal tersebut, permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini, yaitu: (1) bagaimana perkembangan Muhammadiyah di Mojokerto tahun 1990, (2) bagaimana perkembangan Muhammadiyah di Mojokerto pada tahun 1990-2012, dan (3) apasaja aktivitas Muhammadiyah di Mojokerto tahun 1990-2012. Penelitian ini menggunakan metode sejarah, meliputi heuristik, kritik sumber, interpretasi dan historiografi. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara, observasi, arsip dan studi pustaka. Kemudian, data dipilah, diolah dan hasilnya disajikan dalam bentuk historiografi atau penulisan sejarah. Sejak periode kepemimpinan Nazaruddin Rahman BA. (1985-1990). Kebijaksanaan yang dilakukan secara garis besar terdiri dari empat bidang yaitu : pembinaan organisasi, pengembangan gerakan dakwah, kederisasi dan pembinaan Angkatan Muda Muhammadiyah. Kebijakan-kebijakan tersebut dilaksanakan secara berkelanjutan pada periode-periode selanjutnya yaitu pada periode 1991-1995, 1995-2000, 2000-2005, 2005-2010, dan 2010-2015, yang tentunya disesuaikan dengan kondisi umat. Sehingga gerakan yang dilakukan Muhammadiyah Mojokerto lebih terfokus dan mengena. Hasilnya dapat dilihat, Muhammadiyah Mojokerto mengalami perkembangan yang signifikan setelah tahun 1990 baik dari segi organisasinya maupun amal usahanya. Muhammadiyah Daerah Mojokerto sampai sekarang memiliki 13 sekolah mulai dari tingkat dasar sampai menengah atas, 5 panti asuhan yatim (PAY), 1 rumah sakit dan 20 Masjid, 26 Mushollah dan 2 Taman Pendidikan Al-Qur’an.

Kata Kunci : Muhammadiyah, Mojokerto

Download PDF File

Sunday, February 22, 2015

KH. Achmad Haiti, Rela Menanggalkan Gelar Kiai Demi Aktif di Muhammadiyah

Almarhum Kiai Haji Achmad Haiti adalah salah satu sosok ulama yang konsisten mengabdikan hidupnya untuk kegiatan dakwah dan mengajarkan pendidikan agama Islam kepada para "santrinya" di masjid dan mushalla di sekitar tempat tinggalnya. Bahkan beliau rela meninggalkan berbagai "kenikmatan" duniawi dan memilih menghabiskan hari-hari panjangnya untuk mengurus masjid.

Bapak 10 anak (dua orang telah meninggal saat masih berusia muda) dan salah satunya sukses menjabat di Kepolisian Republik Indonesia, yakni Wakapolri Komjen (Pol) Badrodin Haiti, dikenal sebagai seorang ayah yang teguh pada pendirian. Beliau sudah menggariskan ketetapan, bahwa seluruh anaknya harus bersekolah di lembaga pendidikan Islam atau pesantren.

Wajar kalau seluruh anaknya, sempat mengenyam pendidikan di Pesantren, termasuk Komjen Badrodin Haiti yang masa kecilnya bersama kakak dan adiknya bersekolah formal sambil "nyantri" di Pondok Pesantren Baitul Arqam, Balung, Jember. Jarak rumahnya dengan pondok sejauh 8 kilometer, ditempuh dengan mengayuh sepeda onthel pemberian orangtuanya.

Dan baru setelah lulus SMA, Badrodin Haiti melanjutkan ke pendidikan umum dan diterima di AKABRI Kepolisian tahun 1978. Sedang saudara lainnya banyak yang menjadi guru -PNS. "Kalau urusan sekolah anak-anaknya, tidak bisa ditawar harus masuk sekolah agama, ke pesantren atau madrasah, tapi soal pekerjaan beliau memberi kesempatan boleh bekerja dimana saja," tutur H. Lukman Haiti, putra kedua almarhum yang kini melanjutkan perjuangan abahnya, dengan aktif berdakwah dan menggerakkan PCM Paleran Kabupaten Jember.

KH. Achmad Haiti yang wafat pada usia 97 tahun, setelah beberapa hari dirawat di sebuah rumah sakit di Kota Jember, Senin (10/3/2014), selama hidupnya dikenal sebagai tokoh yang merintis pendirian Persyarikatan Muhammadiyah di Jember, khususnya di wilayah Paleran (Kec. Umbulsari) dan sekitarnya.

Hasil rintisan dan perjuangan beliau, kini berdiri Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Paleran dengan berbagai amal usahanya. Diantara AUM yang berdiri berupa TK ABA, SD, SMP dan SMK Muhammadiyah, sejumlah masjid/mushalla, serta beberapa bidang tanah waqaf yang dikelola Muhammadiyah.

Sejatinya, Achmad Haiti yang lahir pada tahun 1917, pada masa mudanya pergi meninggalkan rumah tanpa pamit pada orangtuanya di Sempyuh Banyumas, Jawa Tengah. Saat itu, beliau hanya diasuh ibundanya karena abahnya sudah meninggal di tanah suci Mekkah, saat beliau masih dalam kandungan. "Jadi, bapak sejak kecil sudah yatim. Beliau sempat menangis haru, saat tiba di Tanah Suci, karena teringat Mbah Kakung (abahnya) yang wafat di Makkah," lanjutnya.

Menurut Lukman, karena ada masalah di keluarga besarnya di Banyumas, ayahnya (Achmad Haiti) memilih meninggalkan rumah. Tanpa pamit, Achmad Haiti muda, memilih merantau ke sebuah desa, di Kecamatan Wuluhan, Jember. Bukannya tanpa tujuan, Achmad Haiti memilih menetap dan bermukim di sebuah Pondok Pesantren Salaf di Desa Tamansari, Kecamatan Wuluhan Kabupaten Jember.

Kebetulan pemilik dan pengasuh pondok masih kerabatnya yang juga berasal dari Banyumas. Di ponpes inilah, Achmad Haiti menempa diri dengan belajar agama dan memperdalam kitab-kitab klasik ala pesantren, seperti Kitab Sulam dan Safinah, serta kitab klasik lainnya.

Bermukim di pondok dan tanpa subsidi serta bantuan dana dari orangtuanya, tidak menjadikan Achmad Haiti berkecil hati. Beliau sudah terbiasa hidup prihatin, bahkan hari-harinya lebih banyak dilalui dengan berpuasa sunnah. "Untuk menyambung hidup selama di pesantren, beliau rela bekerja apa saja, termasuk menjadi buruh petik buah kelapa, karena di kawasan Wuluhan saat itu memang menjadi pusat pembudidayaan tanaman kelapa," jelas Lukman.

Selepas dari ponpes, Achmad Haiti memilih bermukim di Paleran, Umbulsari. Di tempat inilah, beliau mengabdikan ilmunya yang diperoleh selama di ponpes kepada para santrinya. Selain mengajar mengaji di masjid dan mushalla, Kiai Achmad Haiti juga sempat mendirikan madrasah ibtidaiyah.

"Santri Bapak, cukup banyak. Kalau pagi, beliau mengajar di madrasah yang didirikannya, dan sore harinya mengajar ngaji santrinya di masjid. Selebihnya, beliau lebih banyak tinggal dan mengurus di masjid. Sesekali, beliau mengisi pengajian, hingga keluar wilayah kecamatan," jelas Lukman, anak kedua yang sempat merawat ayahnya hingga akhir hayat.
Praktis kehidupan Kiai Achmad Haiti dihabiskan untuk kegiatan dakwah dan mendidik agama Islam kepada para santrinya. Untuk persoalan dunia, menurut Lukman, ayahnya sama sekali tidak tertarik untuk menumpuk harta. Beliau sempat berdagang alat-alat rumah tangga di pasar setempat, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Bahkan, saat beliau menemukan pendamping hidup, yakni Siti Aminah, gadis setempat yang mendapat warisan sawah dan ladang yang cukup luas dari orangtuanya, Achmad Haiti tetap tidak berubah. Beliau tetap konsisten dengan aktifitas dakwahnya dan pendidikan agama yang dikelolanya.

"Untuk mengurus sawah, ya kami anak-anaknya dengan ibu, bapak tidak ikut-ikut. Boleh dikata, untuk urusan makan dan kebutuhan hidup lainnya menjadi tanggung jawab ibu, sedang untuk urusan pendidikan dan mengisi bathiniyah anak-anaknya menjadi tanggung jawab bapak," jelas Lukman.

Buah pernikahannya dengan Siti Aminah, Kiai Achmad Haiti dikaruniai 10 orang anak, dua diantaranya meninggal sebelum usia dewasa. Kedelapan putra-putri Kiai Achmad Haiti antara lain, Siti Halimah, anak pertama yang kini bermukim di Blitar. Kemudian disusul Lukman (PNS-Guru) tinggal di Paleran, jember. Selanjutnya, Muhaimin (Blitar), dan Komjen (Pol) Badrodin Haiti yang kini menjabat Wakapolri adalah putra keempat. Kemudian, Nahrowi (PNS-Guru, Jember), Jamrozi (karyawan bank, Jakarta), Siti Humaidah (pengusaha, Jember) dan Siti Mudrikah (wiraswasta, Jakarta).

Musuh PKI

Perjalanan dakwah Kiai Achmad Haiti tidaklah mudah, penuh tantangan dan hambatan. Karena itu wajar, kalau beliau sering berpindah tempat tinggal, mencari masjid dan mushalla yang bisa dipakai untuk berdakwah dan terutama untuk mengajar ngaji.

Salah satu "musuh" beliau dalam berdakwah adalah para tokoh aktivis partai komunis (PKI) di wilayah Paleran dan sekitarnya. Untuk menghalang-halangi langkah dakwah Kiai Achmad Haiti, anggota PKI tak segan-segan melakukan tindakan licik dan tidak pantas. "Bapak terpaksa mengalah dan memindahkan kegiatan dakwahnya ke masjid kampung sebelah, setelah masjid yang dipakai ngaji tempat wudhunya diberi (maaf) kotoran manusia oleh anggota PKI," ujarnya.
Selanjutnya, Achmad Haiti menempati sebuah masjid di timur sungai, Karang Genteng. Justru di Masjid "Darun Najah" ini kegiatan pengajian dan madrasah yang didirikannya berkembang pesat. Santrinya cukup banyak, bahkan Achmad Haiti menjadi Kiai Masjid dan tokoh masyarakat yang cukup disegani. Hampir seluruh kegiatan keagamaan di masjid dan juga di kampung, selalu dipimpin oleh Sang Kiai. "Beliau dianggap Kiai Keramat yang sangat disegani," lanjut Lukman.
Tentunya, faham keagamaan yang dianut Kiai Achmad Haiti, seperti umumnya kiai salaf yang memimpin masjid di kampung-kampung di tanah air. Selain ngaji kitab-kitab klasik, juga memimpin doa tahlil, memimpin manaqib, dan kegiatan keagamaan pada umumnya.
Orientasi keagamaan Kiai Achmad Haiti berubah sedikit demi sedikit setelah beliau aktif dalam Partai Masyumi. Kekagumannya pada sosok M. Natsir, membuat Kiai Haiti, mengkaji ulang pemahamannya terhadap kitab-kitab klasik yang lama dipelajarinya dan membandingkan dengan isi kandungan al Qur'an.
Beliau kemudian memberanikan diri mengubah kebiasaannya saat membacakan khutbah Jumat di masjid. Kalau biasanya beliau khutbah dengan membawa tongkat, saat itu beliau mencoba untuk tidak memakai tongkat. "Bahkan, beliau juga tidak membaca teks khutbah berbahasa Arab, yang biasa dibaca oleh para khotib saat naik mimbar," tutur Lukman.

Kontan, cara berkhutbah Kiai Haiti yang diluar kebiasaan itu, mendapat reaksi keras jamaah Jumat yang memenuhi masjid. "Sejak saat itu, beliau tidak lagi diperkenankan menjadi khotib Jumat. Meski masih tetap shalat di masjid tersebut, bapak lebih memilih menjadi makmum dan meninggalkan kebiasaannya sebagai imam shalat, karena jamaah sudah tidak menghendaki beliau menjadi imam," jelasnya.

Kewibawaan beliau sebagai Kiai Masjid, dengan sendirinya memudar. Kiai Achmad Haiti dengan sabar dan lapang dada, menanggalkan setumpuk gelar dan kehormatan yang sebelumnya disematkan kepadanya. Bahkan, menurut Lukman, pada puncaknya Kiai Achmad Haiti, kembali pindah tempat tinggal, karena sudah tidak nyaman berada di lingkungan masyarakat yang berbalik memusuhinya.

Di tempat yang baru, di Dusun Krajan Kulon, Karang Genteng, Kiai Achmad Haiti tidak surut untuk tetap berdakwah. Justru di tempat baru ini, beliau semakin terang-terangan menyebut dirinya anggota Persyarikatan Muhammadiyah. Dan untuk pertama kalinya, pada tahun 1971, beliau merintis pelaksanaan Sholat Idul Fitri di lapangan desa setempat. "Saat pertama kali diadakan, jamaah sholat Idul Fitri hanya 12 orang, terutama dari keluarga sendiri dan beliau yang menjadi imam sekaligus khotibnya," jelasnya.

Dari sinilah cikal bakal Muhammadiyah di Paleran berdiri. Setelah cukup lama menjadi ranting Muhammadiyah Kecamatan Bangsalsari, pada tahun 2000 lalu, Paleran yang hanya sebuah desa, bisa berdiri Cabang Muhammadiyah, hingga menjadi PCM diantara 22 PCM lainnya di kabupaten Jember. Semoga beliau khusnul khotimah. Amin. [sp/istismar/mag]
Retrieved from: http://www.sangpencerah.com/2015/01/kh-achmad-haiti-rela-menanggalkan-gelar.html

Wednesday, February 18, 2015

Abdul Karim Oey, Tokoh Islam Tionghoa Yang Juga Aktivis Muhammadiyah

"Di samping Muslim yang taat, dia pun dipupuk, diasuh dan menjadi seorang nasionalis Indonesia sejati" begitulah Buya Hamka menggambarkan teman dekatnya, Abdul Karim Oey.

Abdul Karim Oey atau Oey Tjeng Hien adalah salah satu tokoh Tionghoa yang punya jasa besar dalam pergerakan bangsa dan perkembangan Islam di etnis Tionghoa. Oey yang orang tuanya asli negeri Tiongkok ini lahir di keluarga yang cukup berada.

Oey muda dulu berusaha menemukan jati dirinya lewat agama. Setelah melewati perjalanan yang panjang, akhirnya Oey memutuskan memeluk Islam. Saat itu di tahun 1930-an, sesuatu yang jarang terjadi seorang Tionghoa memeluk Islam.

Keputusan ini membuat dia dijauhi oleh komunitas Tionghoa, sebaliknya suku Melayu menerima Oey dengan tangan terbuka. Sejak saat itu Oey dekat dengan orang-orang Melayu.

"Ananda adalah orang yang mampu, orang keturunan baik-baik mengapa mau masuk suku Melayu, pakaian jorok dan serba buruk itu," kata ayah Oey seperti yang dikutip dari buku Tokoh Tionghoa dan Identitas Indonesia yang ditulis Leo Suryadinata dan diterbitkan Komunitas Bambu tahun 2010.

Tetapi Oey tetap pada pendiriannya. Bahkan pada akhirnya Oey yang membuat ayahnya masuk Islam juga. Pendiriannya terhadap agama ini dia wujudkan juga dengan mendirikan cabang Muhammadiyah.

Dari sini dia mulai aktivitas dakwah dan perdagangannya. Lulusan HCS ini kenal banyak orang termasuk ayah Fatmawati, Hasan Din di Bengkulu. Saat pemilihan konsul Muhammadiyah, Soekarno yang saat itu dibuang ke Bengkulu memilih Oey untuk menduduki jabatan tersebut.

Oey mulai dekat denga sang proklamator bahkan Soekarno tak segan meminta bantuan Oey untuk meminta Fatmawati ke ayahnya. Bukan hanya dengan Soekarno , Oey juga dekat dengan Buya Hamka. Ketiganya bersahabat cukup lama.

Di era Orde lama, Oey memutuskan masuk ke Partai Masyumi tetapi tak lama Masyumi bubar. Oey mendirikan Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) pada 1963.

Organisasi bentukan Oey ini berkembang pesat di penjuru tanah air. Bahkan bukan hanya orang Tionghoa melain juga orang-orang pribumi. Dalam organisasi ini orang-orang Tionghoa totok dirangkul dan diberi pengetahuan.

Oey juga berjuang agar Al-Quran dan majalah Islam diterjemahkan ke dalam bahasa Tionghoa. Pengaruh PITI pun meluas hingga PITI bukan hanya milik orang Tionghoa tetapi juga warga pribumi.

Memasuki era Soeharto, organisasi ini dipermasalahkan akibat pemakaian kata 'Tionghoa'. Di tahun 1972, atas perintah Jaksa Agung PITI dibubarkan. Oey yang panjang akal kemudian mentransformasikan kelompok ini dengan nama yang berbeda yaitu PITI (Pembina Iman Tauhid Islam).

Oey terus aktif dalam organisasi keislaman. Dia wafat 13 Oktober 1988 dalam usia 83 tahun.(merdk/sp)

Retrieved from: http://www.sangpencerah.com/2015/02/abdul-karim-oey-tokoh-islam-tionghoa.html

Monday, February 9, 2015

Surat Erfaan Dahlan (Putra KH Ahmad Dahlan) dari Pusat Ahmadiyah di Lahore

Berikut ini adalah surat dari Irfan Dahlan ketika memulai mengambil pendidikan di sekolah Ahmadiyah di Lahore. Surat ini dimuat oleh Madjalah Soeara Moehammadijah nomor 7/th 5/1924, hal. 105-106.




Terima kasih kepada Bapak Farid Setiawan yang menyediakan copydari informasi ini.

Friday, February 6, 2015

Muhammadiyah: Islam Kota yang Semakin Elit


DENGAN sekolah-sekolahnya –yang telah menghasilkan sejumlah kader bangsa yang sekarang ini tersebar di berbagai partai politik sebagai hasil dari hampir seabad perjalanan gerakan pembaruannya dalam beragama (tajdid)– seharusnya Muhammadiyah menjadi salah satu kekuatan penentu nasib negara ini. Namun, sebagai organisasi sosio-religius terbesar kedua di Indonesia setelah Nahdlatul Ulama (NU), Muhamadiyah tidak melibatkan diri secara langsung dalam politik praktis. Warga Muhammadiyah tersebar di berbagai partai politik yang bahkan saling bersaing.

KH AHMAD DAHLAN. “Pendidikan yang dulunya sangat identik dengan budaya Arab (pesantren, madrasah), diperbaiki dengan mengadopsi cara Barat, siswa bersekolah dengan memakai celana”. (download rspkugombong.com)

Hal yang lebih menonjol dari Muhammadiyah sekarang ini justru gerakan amal usaha yang pragmatis. Banyak sekolah-sekolah Muhammadiyah yang dulu dekat dengan masyarakat bawah –yang menjadi sasaran binaan pembaruan untuk kemajuan bangsa– sekarang justru berkembang menjadi sekolah mahal yang semakin tidak terjangkau lagi oleh umat kalangan bawah di perkotaan. Muhammadiyah telah menjadi kelompok elit yang menjauh dari basisnya semula, orang-orang yang lemah (mustadl’afin), kelompok akar rumput yang sangat membutuhkan pendidikan dan pengayoman untuk mengubah nasib.

Menjadi modern tanpa kehilangan jatidiri bangsa
Politik Etis (Etische Politiek) yang diterapkan oleh pemerintah kolonial Belanda di awal abad ke-20 M, yang mulai berlaku secara nyata di lapangan setelah Ratu Wilhelmina berpidato di Staten General pada tahun 1901, sering dianggap sebagai awal dari keterbukaan kesadaran berbangsa rakyat Indonesia.Politik Etis itu menggantikan sistem tanam paksa (kultuur stelsel) yang merupakan politik eksploitasi tak etis oleh perusahaan-perusahaan swasta Belanda yang dihentikan sejak tahun 1870. Snouck Hurgronje, seorang profesor indolog di Leiden (1906), menyarankan agar pemerintah kolonial Belanda memberikan pendidikan dalam tradisi yang paling baik dari Barat kepada elit pribumi, yang nantinya diharapkan menjadi tokoh penting yang berpengaruh luas dalam masyarakat Indonesia sebagai kepanjangan tangan pemerintah.

Sesuai dengan semangat Politik Etis tersebut, pemerintah kolonial Belanda memperbanyak jumlah sekolah. Pada tahun 1903 mulai didirikan sekolah rendah yang dinamakan Volk School (Sekolah Desa) dengan masa belajar 3 tahun yang kemudian dilanjutkan dengan program Vervolg School (Sekolah Lanjutan) dengan masa belajar selama 2 tahun. Dari sekolah dasar tersebut, kemudian dilanjutkan dengan sekolah-sekolah untuk tahun-tahun berikutnya, yaitu Meer Uitgebreid Leger Onderwijs (MULO), sekolah yang jenjangnya setingkat dengan SMP sekarang, dan program Algemeene Middelbare School (AMS) yang jenjangnya setingkat dengan SMA. Ternyata, selain akibat baik, ada juga efek samping sekolah modern tersebut yang menyebabkan sebagian anak-anak pribumi menjadi “salah asuhan”, berpendidikan tinggi tapi terlalu kebarat-baratan, sehingga lupa akan asalnya sendiri sebagai orang pribumi.

Selain itu, akibat penjajahan, kondisi masyarakat Muslim Indonesia waktu itu mengalami kemunduran, sehingga dihinggapi oleh kejumudan (stagnan) dalam pemikiran, terbelakang dalam ilmu pengetahuan, krisis akidah dalam ibadah, dan miskin dalam kesejahteraan sosial. Kondisi itulah yang membuat KH Ahmad Dahlan –dengan nama kecil Muhammad Darwis, putera KH Abu Bakar, seorang imam dan khatib Masjid Besar Kauman, Yogyakarta– berpikir bagaimana menjadi modern tetapi tetap beragama dengan baik. Untuk mencapai itu, harus melakukan perubahan mendasar yang bermula dari pendidikan. Karena menyadari bahwa itu harus dilakukan bersama, Ahmad Dahlan dan kawan-kawan membuat sekolah umum dengan pola pendidikan Belanda namun berbasis pendidikan agama, sebagai bentuk pembaruan dari sekolah Islam yang sebelumnya dikenal dalam bentuk pesantren. Untuk memayungi kegiatan itu, pada 18 November 1912 (8 Dzulhijah 1330 H) didirikan sebuah organisasi dengan nama Muhammadiyah. Dengan mengambil nama Nabi Muhammad SAW, organisasi ini juga dapat dikenal sebagai orang-orang yang menjadi pengikut Nabi SAW.

Pada tahun itu pula di Solo, Haji Samanhudi, seorang pedagang batik yang berpikiran maju, mendirikan Sarekat Dagang Islam (SDI), sebuah organisasi perlawanan terhadap penjajah Belanda, untuk membantu pengembangan pengusaha kecil pribumi menghadapi persaingan dagang dengan pedagang China yang mendapat dukungan fasilitas dari pemerintah Belanda.

Pada masa awal berdirinya Muhammadiyah, Kiai Dahlan mengharapkan agar dapat mengedepankan visi tarjih atau tandhif dan tajdid ajaran Islam, dengan tujuan kembali ke ajaran Islam yang murni dengan slogan kembali ke Qur’an dan Sunnah (ruju’ ila Qur’an wa Sunnah). Kiai Dahlan yang pernah tinggal dan belajar di Mekah selama lima tahun sewaktu remaja, terpengaruh oleh pemikiran tokoh-tokoh pembaru dari kelompok Salafi modern, seperti Jamaluddin Al-Afgani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha yang sedang populer di Mesir. Juga ada kaitannya dengan Muhammad Abdul Wahab yang sukses dengan gerakan Wahabi di Saudi Arabia, dan Ibnu Taimiyah pendiri awal gerakan Salafi (Islam Digest Republika, 4 Juli 2010).

Walaupun gerakan Muhammadiyah itu dari segi ritual keagamaaan dan pandangan teologi dipengaruhi oleh gerakan Wahabi yang puritan, namun Kiai Dahlan melakukan pendekatan bijak yang lebih sesuai dengan kondisi Indonesia. Dalam pandangannya, pemurnian ajaran Islam yang bercampur dengan tradisi lokal tersebut harus dilakukan melalui pendidikan mengenai ajaran Islam yang benar. Untuk mengajarkan agama Islam dan menyebarkan cita-cita pembaharuannya, strategi yang dipilihnya adalah dengan mendidik para calon guru yang belajar di Kweekschool Jetis, Yogyakarta, dan para calon pamongpraja (penjabat) yang belajar di OSVIA, Magelang, yang diharapkan dapat mempercepat proses transformasi. Selain itu, Kiai Dahlan mendirikan sekolah guru yang kemudian dikenal sebagai Kweekschool Muhammadiyah, khusus anak laki-laki, yang bertempat di Patangpuluhan kecamatan Wirobrajan, sekarang dikenal dengan Madrasah Mu’allimin, dan Kweekschool Istri Muhammadiyah, atau Madrasah Mu’allimat, khusus anak perempuan, di Suronatan Yogyakarta. Pendidikan yang dulunya sangat identik dengan budaya Arab (pesantren, madrasah), diperbaiki dengan mengadopsi cara Barat, siswa bersekolah dengan memakai celana.

Untuk menjawab reaksi pembaharuan menyangkut persoalan tradisionalisme masyarakat tersebut, Kiai Dahlan melakukan tabligh (penyiaran ajaran) dengan mendatangi jamaahnya. Inilah suatu terobosan waktu itu, karena biasanya jamaah yang mendatangi ulama pemberi tabligh. Selain itu, Kiai Dahlan mengubah tradisi dakwah yang hanya semula umumnya secara lisan, dengan menambahkan dakwah dengan tulisan melalui Swara Muhammadiyah, majalah berbahasa Jawa.

MENGHADAPI masalah Jawanisme, praktik-praktik ibadah yang bercampur dengan tradisi masyarakat setempat, Kiai Dahlan menggunakan metoda yang selalu mengedepankan berbuat baik (amar makruf) mengajak dengan bijaksana untuk mencari solusi, bukannya menyerang tradisi tersebut dengan keras (nahi mungkar). Waktu itu, banyak bangunan masjid yang kiblatnya tidak tepat ke arah Masjidil Haram di Mekah, karena dibangun berdasarkan pertimbangan kerapihan pembangunan kota dengan mengikuti rentetan jalan yang sudah ada. Mulanya, Kiai Dahlan yang ahli dalam ilmu falak berusaha untuk membetulkan arah kiblat masjid di Yogyakarta, namun menimbulkan insiden yang membuatnya berpikir lebih bijak setelah suraunya dibakar massa yang protes. Dalam suatu kesempatan lain, kepada para jamaah masjid yang salah arah kiblat ia mengatakan bahwa untuk bisa menampung seluruh jamaah di dalam masjid, saatnya bangunan itu harus diperbesar dan diperindah, serta kiblatnya ditujukan ke arah Masjidil Haram di Mekah. Usulan tersebut diterima sepenuhnya oleh para jamaah.

VISUALISASI KH AHMAD DAHLAN MUDA DALAM POSTER FILM ‘SANG PENCERAH’. Dalam kegalauan akibat maraknya serangan kelompok Islam radikal kepada kelompok lain yang dianggap sesat sekarang ini, Muhammadiyah yang dikenal sebagai salah satu kubu Salafi menghadapi dilema dan sesekali menjadi dilema sekaligus. “…. Ketika dihadapkan dengan perbedaan antara golongan Islam tradisional dan kelompok Islam garis keras, maka Muhammadiyah mengambil posisi yang disebut wasathiyah (moderat, posisi tengah) dengan mengedepankan keterbukaan, dialog dan komunikasi dengan semua pihak”. (gambar download).

Untuk memperbaiki arah kiblat masjid di kota-kota lain yang kurang sempurna, Kiai Dahlan berinisiatif mengumpulkan para tokoh ulama di wilayah Yogyakarta dan sekitarnya untuk melakukan musyawarah. Walaupun setiap tokoh ulama daerah itu memiliki pandangan yang berbeda-beda, namun hasil musyawarah tersebut membawa pengaruh yang besar dalam pemahaman baru beragama yang rasional. Kiai Dahlan menghendaki umat Islam tidak menjadi orang yang jumud, yang hanya mengikuti dan menerima saja segala ajaran Islam tanpa memverifikasinya terlebih dahulu, apakah ajaran itu benar dari Islam atau sebaliknya, justru berasal dari kelompok lainnya yang bisa menyebabkan rusaknya akidah umat Islam.

Perilaku yang ramah, tidak mencari musuh itulah yang membuat paham Muhammadiyah menyebar dengan damai ke seluruh Indonesia (Islam Digest Republika, 22 November 2009). Namun dalam versi yang lunak, pesantren yang berafiliasi Muhammadiyah ada juga yang menunjukkan sikap menghakimi warga Islam tradisional yang melakukan ziarah kubur sebagai perbuatan bid’ah. Ciri khas pesantren Muhammadiyah ini adalah tidak ada ritual tahlilan. Tidak ada qunut saat salat Subuh atau paruh akhir shalat tarawih. Jumlah raka’at shalat tarawih cuma 8 raka’at.

Gerakan Muhammadiyah berciri semangat membangun tata sosial dan pendidikan masyarakat yang lebih maju dan terdidik. Menampilkan Islam, bukan hanya sekadar agama yang bersifat pribadi dan statis, tetapi juga sebagai ajaran yang dinamis dan berkedudukan sebagai sistem kehidupan manusia dalam segala aspeknya. Untuk menjalankan dakwah Islam secara teorganisasi, umat yang bergerak, yang juga mengandung penegasan tentang hidup berorganisasi. Karena itu, gerakan Muhammadiyah selain menyediakan tempat pendidikan, juga mengadakan fasilitas pendukung yang menyangkut kepentingan umat, dengan mengadakan fasilitas kesehatan (Rumah Sakit Umum dan Bersalin Muhammadiyah/Aisyiyah, Balai Kesehatan Ibu dan Anak, Balai Kesehatan Masyarakat, Balai Pengobatan, dan Apotek), dan lembaga-lembaga kesejahteraan sosial (Panti Asuhan Yatim, Panti Jompo, Balai Kesehatan Sosial, Panti Wreda/Manula, Panti Cacat Netra,  Santunan Keluarga, Wreda/Manula, dan Kematian, BPKM (Balai Pendidikan dan Keterampilan Muhammadiyah), Rehabilitasi Cacat, Sekolah Luar Biasa, dan Pondok Pesantren) di seluruh Indonesia (http://id.wikipedia.org/ wiki/Muhammadiyah).

Kubu Islam modern yang menjaga kerukunan bangsa
Dalam kegalauan akibat maraknya serangan kelompok Islam radikal kepada kelompok lain yang dianggap sesat sekarang ini, Muhammadiyah yang dikenal sebagai salah satu kubu Salafi menghadapi dilema dan sesekali menjadi dilema sekaligus. Bagaimanapun, Muhammadiyah mempunyai sikap tegas menanggapi maraknya aliran menyimpang di luar ajaran Islam, namun tidak mengandalkan aksi kekerasan, dan diharapkan bisa menjadi media dakwah. Dalam kasus Ahmadiyah misalnya, Muhammadiyah menolak paham yang meyakini adanya nabi setelah Muhammad SAW. “Sejak tahun 1933, Majelis Tarkih Muhammadiyyah sudah mengeluarkan putusan bahwa sesuai akidah Islam, Muhammadiyah menolak ada pemahaman dan ajaran lain yang meyakini nabi baru selain nabi Muhammad. Apapun dan siapa pun yang melakukan,” ujar Ketua PP Muhammadiyah Din Syamsuddin. Hal itu dia sampaikan dalam diskusi publik bertajuk “Masalah Kerukunan Umat Beragama dan Solusinya” di Gedung Dakwah Muhammadiyah, Jalan Cikini, Jakarta Pusat, Senin (21/2/2011).

Namun, walaupun memiliki sikap tegas terhadap aliran yang menyimpang itu, Muhammadiyah cukup dewasa menyikapi desakan pembubaran Ahmadiyah. Dari pada ikut serta dalam berbagai aksi yang tidak jelas kesudahannya, Muhammadiyah lebih memilih sikap netral. “Muhammadiyah tidak mau ikut gerakan untuk membubarkan Ahmadiyah. Karena eksistensi suatu kelompok seperti Ahmadiyah itu bukan urusan masyarakat, tapi negara dan pemerintah. Kami menyerahkan kepada negara,” kata Din Syamsudin. Menurutnya, sebagai warga yang baik hendaknya memberikan solusi bukan menambah keruh suasana. Ada baiknya ajaran sesat seperti itu dituntun ke jalan yang benar (http://news.detik.com/read/2011/02/21/ 153452/1575274/10/ sejak-tahun-1933-muhammadiyah-tolak-ajaran-menyimpang)

Dalam kesempatan lain, dalam Tabligh Akbar di Gedung Kelab Sultan Sulaiman, Kg. Baru, Bandar Kuala Lumpur, Rabu (20/04/2011), Din Syamsudin menegaskan sebagai gerakan tajdid,  Muhammadiyah disebut-sebut sebagai gerakan puritan. Namun, ketika dihadapkan dengan perbedaan antara golongan Islam tradisional dan kelompok Islam garis keras, maka Muhammadiyah mengambil posisi yang disebut wasathiyah (moderat,  posisi tengah) dengan mengedepankan keterbukaan, dialog dan komunikasi dengan semua pihak. Muhammadiyah harus senantiasa menjaga dan memegang teguh keseimbangan (tawazun) antara gerakan tajdid  dalam pemurnian akidah dan ibadah (mahdhoh), dan tajdid dalam bidang amaliyah (mu’amalah dunyawiyah).

Dari gerakan purifikasi dan tajdid tersebut, terbentuklah rasionalisasi yang ditandai dengan aksi nyata atau amal usaha yang memberikan manfaat kepada masyarakat luas, seperti amal usaha di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi dan sebagainya. Dan amal usaha ini harus dikelola secara profesional dan modern. Dari sini para pengamat, baik dari dalam atau luar negeri, menilai bahwa Muhammadiyah adalah sebuah organisasi Islam modern.

Pada acara puncak World Interfaith Harmony Week dengan tema “Harmoni Untuk Indonesia” yang diselenggarakan IRC (Inter Religious Council Indonesia) di Gedung Nusantara IV MPR/DPR RI, Minggu, (12/2/2012), Din Syamsudin, Ketua IRC, mengatakan perayaan itu merupakan simbol untuk menyampaikan pesan kerukunan ke seluruh pelosok negeri. “Dari sini kita bisa sampaikan ke penjuru dunia supaya tetap hidup dalam kerukunan, bersedia untuk selalu berdampingan dan penuh dengan kedamaian,” kata Din Syamsudin. Saat ditanya mengenai konflik yang terus muncul di negeri ini dengan dalih agama, Din Syamsudin mengatakan: “Di Indonesia yang majemuk ini, kami berharap berbagai macam ketegangan konflik apalagi yang mengatasnamakan agama dapat dihindari secara bersama. Memang, kita tidak menutup mata masih banyak masalah-masalah yang ada, tapi kita tidak bosan untuk terus menyuarakan kerukunan dan harmoni ini demi utuhnya persatuan dan kesatuan” (http://nasional.inilah.com/read/detail/1829278/din-bicara-kerukunan-dan-perdamaian-beragama). Menciptakan keharmonisan untuk membangun NKRI sangat diperlukan, namun di tengah kemajemukan masyarakat Indonesia, ternyata juga tidak bisa lepas dari risko menghadapi berbagai macam perpecahan.

Terlalu semangat dengan ijtihad amali, lupa tajdid
PADA masa kepemimpinan Kiai Dahlan (1912-1923), pengaruh Muhammadiyah terbatas di beberapa kota-kota di Jawa Tengah, seperti: Yogyakarta, Surakarta, Pekalongan dan Pekajangan (daerah Pekalongan sekarang). Selain Yogya, cabang-cabang Muhammadiyah itu berdiri pada tahun 1922. Pada tahun 1925, Abdul Karim Amrullah membawa Muhammadiyah ke Sumatera Barat dengan membuka cabang di Sungai Batang, Agam. Dalam waktu yang relatif singkat, arus gelombang Muhammadiyah telah menyebar ke seluruh Sumatera Barat, dan dari daerah inilah kemudian Muhammadiyah bergerak ke seluruh Sumatera, Sulawesi dan Kalimantan. Pada tahun 1938, Muhammadiyah telah tersebar ke seluruhIndonesia.

SEBAGAI sebuah gerakan Islam sosial yang kini hampir memasuki usia 100 tahun, telah banyak yang dilakukan oleh Muhammadiyah bagi bangsa Indonesia secara luas. Dalam bidang pendidikan misalnya, hingga tahun 2000 ormas Islam itu memiliki 3.979 taman kanak-kanak, 33 taman pendidikan Alquran, 6 sekolah luar biasa, 940 sekolah dasar, 1.332 madrasah diniyah/ibtidaiyah, 2.143 sekolah lanjutan tingkat pertama (SMP dan MTs), 979 sekolah lanjutan tingkat atas (SMA, MA, SMK), 101 sekolah kejuruan, 13 mualimin/mualimat, 3 sekolah menengah farmasi, serta 64 pondok pesantren. Dalam bidang pendidikan tinggi, hingga tahun ini Muhammadiyah memiliki 36 universitas, 72 sekolah tinggi, 54 akademi, dan 4 politeknik.
KH AHMAD DAHLAN, FIKIH AL-MAUN. “Konsep itu dikembangkan karena adanya pandangan, bahwa umat Islam sampai sekarang masih mengalami ketertinggalan peradaban dan banyak yang menjadi penyandang masalah sosial, miskin, dan bodoh”. (Foto download)

 Sementara itu, dalam bidang kesehatan, Muhammadiyah hingga tahun 2000 memiliki 30 rumah sakit umum, 13 rumah sakit bersalin, 80 rumah bersalin, 35 balai kesehatan ibu dan anak (BKIA), 63 balai pengobatan, 20 poliklinik, balai kesehatan masyarakat, dan layanan kesehatan yang lain. Lalu dalam bidang kesejahteraan sosial, hingga 2000 Muhammadiyah telah memiliki 228 panti asuhan yatim, 18 panti jompo, 22 balai kesehatan sosial, 161 santunan keluarga, 5 panti wreda/manula, 13 santunan wreda/ manula, 1 panti cacat netra, 38 santunan kematian, serta 15 BPKM. Dalam bidang ekonomi, hingga 2000 Muhammadiyah memiliki 5 bank perkreditan rakyat (BPR) (Suara Merdeka, Semarang, Rabu, 13 Juli 2005).

Peningkatan jumlah yang demikian spektakuler tidak dapat menutup kenyataan lain di seputar perkembangan amal usaha Muhammadiyah tersebut, yaitu kualitas amal usaha tersebut. Harus diakui, amal usaha Muhammadiyah untuk hal kualitas mengalami dua masalah sekaligus. Pertama, keterlambatan pertumbuhan kualitas dibandingkan dengan penambahan jumlah yang spektakuler. Kedua, ketidakmerataan pengembangan mutu lembaga pendidikan. Namun, kesuksesan Muhammadiyah dalam bidang usaha (ijtihad amali) itu tidak membuatnya lepas dari kritik kader-kadernya. Saat menjabat sebagai Ketua Pemuda Muhammadiyah, Din Syamsudin, pernah melontarkan kritik tajam. “Muhammadiyah telah berubah dari pergerakan tajdid menjadi gerakan amal usaha”, katanya. Kata amal usaha ditujukan pada perkembangan jumlah sekolah, rumah sakit, dan lembaga ekonomi milik Muhammadiyah (Islam Digest Republika, 22 November 2009).

Banyak sorotan yang diarahkan pada amal usaha di bidang pendidikan, seperti sekolah-sekolah tingkat dasar ataupun menengah serta perguruan tinggi karena lembaga-lembaga tersebut belum mampu menunjukkan daya saing pada tingkat nasional, apalagi internasional. Selain itu, banyak evaluasi yang diarahkan kepada organisasi itu terutama dalam wilayah pemahaman keagamaan yang berimplikasi pada praksis sosial. Dalam bidang teologi, banyak pihak menilai, organisasi dan gerakan Islam Muhammadiyah termasuk dalam kelompok Islam yang menginginkan pemberlakuan ajaran Islam autentik dan murni.

Dari catatan Muktamar Muhammadiyah ke-45 di Malang (2005), terungkap bahwa sebagai sebuah organisasi yang telah berusia hampir satu abad, kekuatan Muhammadiyah terletak pada reputasinya sebagai gerakan Islam modern yang dikenal luas secara nasional ataupun internasional (http://www.suaramerdeka.com/harian/0507/ 13/nas12.htm). Dari perkembangan kehidupan nasional, Muhammadiyah menjadi modal sosial dan moral bangsa. Dengan jaringan organisasi yang sudah tersebar di seluruh penjuru Tanah Air dan beberapa negara ASEAN, membuat Muhammadiyah lebih mudah dalam mengembangkan aktivitas pada akar rumput yang membutuhkan koordinasi berjenjang dan melibatkan partisipasi masyarakat di berbagai daerah. Juga, dukungan lembaga-lembaga amal usaha yang sangat besar, secara kuantitatif menjadi aset sumber daya yang sangat berharga bagi Muhammadiyah untuk terus bertahan di tengah-tengah badai krisis yang telah melanda negara ini
Namun, di samping kekuatan itu, organisasi ini masih diwarnai beberapa kelemahan, antara lain kecenderungannya sebagai gerakan aksi membuat gerakan pemikiran kurang berkembang dengan baik. Hal itu memicu beragam kritik dari berbagai kalangan yang mempunyai harapan besar agar Muhammadiyah memberikan kontribusi signifikan bagi perkembangan pemikiran Islam di Indonesia.

Pertumbuhan organisasi yang telah makin besar membuat Muhammadiyah cenderung birokratis dan dinilai lamban dalam merespons persoalan-persoalan yang berkembang dalam masyarakat terutama dalam menyikapi masalah-masalah sosial baru, seperti isu pornografi-pornoaksi, masalah ketenagakerjaan, pelanggaran HAM, dan penyalahgunaan narkoba. Perkembangan organisasi dinilai belum mampu menyentuh persoalan akar rumput. Selain itu, perkembangan amal usaha yang sangat pesat secara kuantitaif belum diimbangi peningkatan kualitas yang berarti. Kenyataan ini membuat hasil-hasil yang telah dicapai oleh Muhammadiyah selama ini tidak begitu menarik perhatian masyarakat karena tidak dianggap sebagai inovasi baru.

Pengakuan masyarakat internasional terhadap Muhammadiyah sebagai salah satu pilar masyarakat madani diIndonesia membuka peluang kerja sama yang sangat luas dengan pemerintah di berbagai negara, ataupun dengan lembaga-lembaga internasional. Jika kesempatan tersebut dapat ditangkap dengan baik, tentulah akan sangat membantu gerak langkah Muhammadiyah di berbagai bidang, khususnya dalam peningkatan kualitas amal-amal usahanya. Juga, di era otonomi daerah yang memberikan keleluasaan pada pemerintah daerah untuk mengatur rumah tangga sendiri, dapat menjadi peluang bagus bagi Muhammadiyah di daerah-daerah untuk lebih berperan dalam pengambilan keputusan publik dan pembangunan daerah. Hal itu seharusnya dapat direspons dengan cepat oleh pimpinan Muhammadiyah di daerah sehingga kontribusinya akan makin diperhitungkan.

Arus besar sekularisme-materialisme yang melanda dunia sekarang ini menjadi godaan sekaligus tantangan yang besar bagi warga Muhammadiyah untuk dapat tetap memegang teguh komitmennya dalam menerapkan gaya hidup Islami yang modern. Dan tidak menjadi lebih ortodoks maupun kalah modern dari NU. Cengkeraman kapitalisme global memengaruhi orientasi perkembangan amal usaha Muhammadiyah menjadi lebih berorientasi profit dan lepas dari semangat awal sebagai penolong kesengsaraan masyarakat kelompok bawah. Kecenderungan ini sudah mulai tampak pada makin mahalnya biaya pendidikan di berbagai amal usaha pendidikan dan biaya pengobatan di rumah-rumah sakit yang dikelola Muhammadiyah.

Memasuki satu abad Muhammadiyah, para intelektualnya telah melakukan sebuah terobosan yang cemerlang dengan Fikih Al-Maun dalam upaya mencerdaskan rakkyat, menciptakan kemandirian bangsa, dan terbebas dari berbagai macam penindasan dan kebodohan. Konsep itu dikembangkan karena adanya pandangan, bahwa umat Islam sampai sekarang masih mengalami ketertinggalan peradaban dan banyak yang menjadi penyandang masalah sosial, miskin, dan bodoh. Sebenarnya, Fikih Al-Maun itu sudah menjadi bagian dan tradisi di Muhammadiyah, tetapi belum terbingkai dengan pemahaman yang luas sebagai basis teologi.

Namun, semua gagasan itu berhenti pada tataran teologi, tidak diejawantahkan dalam bentuk fikih. Dalam pandangan Ahmad Najib Burhani, dosen Universitas Paramadina, Jakarta, dalam artikelnya yang berjudul “Dari Teologi Mustadl’afin Menuju Fiqh Mustadl’afin”, gerakan pembaruan dan pengembangan konsep Amal Al-Maun yang dikembangkan Amien Rais, Syafii Maarif, bahkan Din Syamsuddin, belum mampu menyosialisasikan gagasan tauhid sosial ini secara maksimal (Islam Digest Republika, 4 Juli 2010). Gerakan anti korupsi dengan semangat keagamaan, kendati sempat diikuti, namun akhirnya berhenti pada tataran diskursus belaka. Gerakan anti korupsi tak mampu mengurangi tindak korupsi di Indonesia.

-Disusun untuk sociopolitica oleh Syamsir Alam, mantan aktivis mahasiswa era Orde Baru yang sudah lama mengubur ‘kapak perperangan’. Namun, tergerak untuk menggalinya kembali setelah melihat karut-marut situasi politik sekarang. 

Retrieved from:
http://socio-politica.com/2012/05/12/muhammadiyah-islam-kota-yang-semakin-elit-1/
http://socio-politica.com/2012/05/16/muhammadiyah-islam-kota-yang-semakin-elit-2/ 
http://socio-politica.com/2012/05/25/muhammadiyah-islam-kota-yang-semakin-elit-3/

Thursday, February 5, 2015

Ahmad Syafii Maarif, Guru Bangsa, di Antara Teks dan Ide

Media Indonesia, Kamis, 22 Januari 2015
Humaniora
 
Senja di akhir pekan itu, wajah Syafii Maarif tampak segar. Dengan berkemeja putih dan celana hitam, ia berkisah tentang aktivitasnya.Membaca, menulis, dan berbicara tentang pemikirannya, tentang masalah bangsa menjadi warna utama hari-harinya.

Menjelang usia delapan dekade pada Mei mendatang, sebutan Buya kian melekat disematkan di muka namanya. Dua makna terkandung pada gelar yang berasal dari kultur Minang, yang juga memang mengalir di darah Syafii. Pertama, bapak dan kedua, ulama.

Namun, untuk sosok Syafii, buya dipastikan ialah panggilan hormat baginya sebagai bapak bangsa. Ketika putra-putrinya risau, bahkan marah, bapak akan menghibur dan bersedia berembuk untuk mencari solusi. Begitu pula ketika anaknya keliru, maka seorang Buya akan mengingatkan, menegur, mengoreksi, bahkan memarahi.

Kata-kata penghiburan, kalimatkalimat mengkritik, bahkan nadanada keras itu diucapkan Syafii dan disiarkan media yang setia datang padanya untuk mengonfirmasi berbagai masalah bangsa. Pun, lewat aneka seminar dan perhelatan yang digelar di berbagai penjuru negeri.

"Kegiatan saya masih sama, membaca, menulis, seminar, dan simposium. Enggak pernah nganggur pokoknya," terang Buya Syafii ketika menerima Media Indonesia di kediamannya, di Perumahan Nogotirto, Gamping, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Minggu (11/1).

Pilih yang muda

Namun, saat namanya sempat disebut-sebut ketika Presiden menggodok nama anggota Dewan Pertimbangan Presiden, Buya Syafii tegas menolak. Ia bilang telah terlalu sepuh dan menyarankan Presiden memilih kandidat yang lebih muda.

Tak perlu dikait-kaitkan dengan intrik politik. Sikap itu mengukuhkan kembali sikapnya sebagai bapak yang bijak, tetap setia mem bimbing, dan tak lantas rakus dengan kekuasaan.

Ia mengaku memilih untuk terus mempertajam pemikirannya dengan membaca buku dan menulis, dua agenda rutin hariannya. Tidak ada alokasi waktu khusus untuk kedua kegiatan itu, tetapi nyaris seluruh harinya habis di perpustakaan yang juga ruang kerja di rumah.

Buya Syafii mengaku masih mampu membaca atau menulis tanpa jeda di depan laptop hingga tiga jam. "Kalau sudah lelah betul, tidak tahu lagi maksud kalimat yang dibaca, ya saya istirahat," cerita dia.

Namun, diakuinya sering kali terlalu asyik membaca artikel sampai lupa waktu, hingga lebih dari empat jam. Jika waktu itu terlampaui, lelahnya baru sangat terasa ketika ia rihat.

"Tidak hanya mata, tetapi badan juga rasanya lelah. Saya lalu istirahat, bisa berbaring sebentar, atau jalan-jalan di sekitar rumah menikmati berbagai jenis tanaman yang dirawat dan dipelihara istri," kata Buya Syafii.

Menerima kondisi tubuh

Bagian dari upaya untuk terus bugar, kata Buya Syafii, justru didapatnya dari penerimaan atas kondisi tubuhnya yang terus berubah sesuai pertambahan usia. Kini, ia mengaku tak memaksa raganya untuk bekerja keras hingga terlalu malam.

"Jika beberapa tahun lalu masih dapat bekerja hingga pukul 21.00 malam, sekarang pukul 20.00 atau 21.00 malam saya sudah tidur. Saya sekarang cepat tidur kalau sudah lelah," kata Buya Syafii.

Dengan adaptasi itu, tak berarti Buya Syafii mundur dari gelanggang pemikiran.

Pensiun sebagai dosen di Universitas Negeri Yogyakarta pada 2005 dan tidak lagi menjabat sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah pada tahun yang sama, Syafii mengaku punya energi dan waktu lebih untuk berkiprah. "Sekarang, lebih banyak yang bisa dilakukan.Kegiatan-kegiatan saat ini telah banyak menyita waktu, membuat saya tidak pernah menganggur."

"Saya memang sudah waktunya berhenti mengajar di kampus karena pikiran saya sudah tidak fokus lagi untuk mengajar. Selain itu, saya sudah terlalu lama mengajar. Tahun 2005 itu waktu yang tepat untuk berhenti," kata Syafii.

Upaya memahami kondisi fisik dan psikis tubuh dipadu tekad untuk terus bermakna buat sekitarnya, membuat Buya Syafii selamat dari kondisi post power syndrome yang kerap menimpa mereka yang pernah berada di puncak karier.

"Bagi saya, pensiun atau tidak pensiun sama saja," kata Buya Syafii. Kondisi raga dan pemikiran memang tak perlu senantiasa sinkron. Ide-ide besar Buya Syafii tetap dinanti pada dekade kedelapan perjalanannya. (M-1)


http://www.mediaindonesia.com/mipagi/read/7497/AHMAD-SYAFII-MAARIF-Guru-Bangsa-di-Antara-Teks-dan-Ide/2015/01/22

Tuesday, February 3, 2015

Amien Rais dan Gusdur Dalam Ingatan Publik

Oleh: Wahyudi Akmaliah *)

Sebuah peristiwa meskipun sudah berlalu sejak lama tidak benar-benar berlalu, bagi sebagian orang peristiwa tersebut bisa menjadi ingatan personal dan kolektif. Bila berdampak besar, peristiwa itu bisa menjadi ingatan sosial, yaitu direproduksi dan dibicarakan oleh kebanyakan orang. Namun demikian, ingatan sosial yang direpresi oleh setiap individu memiliki torehan makna yang berbeda. Nah, torehan makna ini yang seringkali diartikulasikan dalam ruang publik terkait dengan cara orang bersikap mengenai sebuah kejadian ataupun membicarakan tokoh tertentu. Dalam membicarakan perpolitikan di Indonesia, tiap individu masyarakat memiliki ingatan yang berdampak dalam mereka bersikap dan membangun relasi kepada momen yang diingat tersebut. Di sini, momen yang diingat biasanya ada dua, momen baik dan kontroversi/buruk.

Terkait hal tersebut, ada dua tokoh politik yang cukup kontroversial di Indonesia, Gusdur dan Amien Rais. Keduanya ini adalah produk zaman dan sekaligus penentang rejim Orde Baru. Di sini, selain turut mengalami atsmosper kehidupan rejim Orde Baru yang otoriter dan terpusat dengan sokongan partai golkar sebagai kendaraan politik, militer, khususnya ABRI sebagai kekuatan pengamanan dan penggebuk, serta jaringan keluarga dan pertemanan dalam mengambil-alih keuntungan ekonomi negara, keduanya dengan kontribusi masing-masing (Gusdur sebagai ketua PBNU dan Amien Rais sebagai Ketua PP Muhammadiyah) justru turut menumbangkan jatuhnya Suharto dari kursi presiden pada 21 mei 1998. Namun tindakan dan nilai kontroversi yang mereka lakukan tidaklah memiliki pijakan yang sama, khususnya sikap politik mereka pasca rejim Orde Baru.

Gusdur dengan sikap terbuka seringkali dianggap kontroversial karena keberpihakannya terhadap mereka yang tertindas dan termarginalkan serta menyuarakan apa yang dianggapnya benar. Ketika menjadi presiden, misalnya, salah satu kebijakan yang dianggap kontroversi adalah saat ia meminta maaf kepada korban dan keluarga korban peristiwa 1965-1966 dan berniat menghapus Tap MPRS XXV/1966 terkait dengan pembubaran PKI dan larangan untuk mempelajari paham dan ajaran mengenai Komunisme, Marxisme dan Leninisme. Usai dilengserkan dari kursi presiden dengan dalih Brunnaigate dan Buloggate oleh DPR dan MPR, sikap keberpihakannya terhadap kelompok minoritas tidak berhenti. Ia dengan lantang bersikap keras bahwa selama ia masih hidup akan terus membela Ahmadiyah. Hal ini disampaikan ketika FPI melakukan penyerangan kepada kelompok Ahmadiyah. Selain karena keteguhan pendiriannya, adanya modal kapital yang kuat (mantan ketua PBNU dan cucu dari KH Hasyim As’ari) turut memperkuat posisi dan sikap politiknya dalam membela mereka yang tertindas.

Berbeda dengan Gusdur, Amien Rais dianggap kontroversial justru karena tindakan politiknya yang dianggap bernilai inkonsisten. Hal ini karena dua hal. Pertama, Gusdur adalah orang yang diminta dan dibujuk untuk menjadi presiden keempat melalui poros tengah (gabungan partai-partai Islam) oleh Amien Rais yang saat itu menjadi ketua MPR. Dengan dalih Buloggate dan Bruneigate, sebagai representasi dan ketua MPR, justru Amien Rais-lah yang mencabut mandat Gusdur untuk berhenti menjadi presiden dan digantikan Megawati. Kedua, saat era reformasi, Amien Rais bersikap lantang untuk membawa Prabowo ke Mahmilub terkait dengan dugaan tindakan pelanggaran HAM yang dilakukannya. Namun, dalam Pemilihan Presiden 2014, sebagai ketua Majelis Pertimbangan Amanah PAN, ia justru mendukungnya sebagai calon Presiden RI di tengah menyurutnya demokrasi Indonesia dengan kembalinya para petualang politik dan oligarkis rejim Orde Baru. Posisinya yang dianggap sebagai “king maker” di balik krisis politik Indonesia dengan kemenangan dominan koalisi Merah Putih di MPR dan DPR memperkuat arus kontroversi sebelumnya.

Peristiwa penembakan mobil Amien Rais di rumahnya pada hari Kamis (6/11/2014) memunculkan kontestasi ingatan invidu dan kolektif yang beragam; bagi kebanyakan pendukungnya, kebanyakan berasal dari anggota Muhammadiyah, itu bukan sekedar penembakan tapi bentuk tindakan kekerasan terhadap tokoh Amien Rais. Ada juga yang menganggap bahwa hal itu memiliki kaitan dengan sikap politiknya dalam level nasional. Sementara bagi yang memiliki ingatan buruk tentangnya, mereka hanya terdiam; antara tidak menyetujui tindakan terror tersebut tapi di satu sisi mereka memiliki ingatan buruk tentang tindakan politik Amien Rais. Terkait dengan kontestasi ingatan individu dan kelompok semacam ini upaya untuk mencegah tindakan provokasi lebih besar adalah dengan menguraikannya, yaitu dengan mengusut pelaku kriminal tersebut, apakah memiliki kaitan dengan tindakan politik Amien Rais pada level nasional ata sekedar orang iseng yang mengekspresikan kekesalannya pada ruang dan tempat yang salah.

Dengan demikian, terkait dengan artikulasi ingatan, insiden itu bisa dibaca diartikan dua hal. Peristiwa itu bisa dilihat sebagai bentuk peringatan kepada sosok Amien Rais terkait dengan sikap kontroversialnya dalam politik nasional yang dianggap merugikan pihak lain, di sisi lain, itu juga menunjukkan kepada mereka yang memiliki referensi ingatan yang buruk bahwa Amien Rais, terlepas dari sikap pilihan politiknya, adalah tokoh besar, bagi sebagian orang, di mana ia pernah memberikan sumbangsih positif untuk Muhammadiyah dan Indonesia. Sementara itu, bagi Gusdur-ian, artikulasi ingatan yang dibangun oleh orang-orang yang memiliki ingatan yang baik tentangnya, adalah membangun situs-situs kelompok Gusdurian untuk menyebarkan ide-ide advokasi, toleransi, persamaan, dan perdamaian, khususnya kepada mereka yang kerap dianggap lain, baik secara etnis, aliran, agama, maupun ekonomi.

*) Wahyudi Akmaliah adalah Peneliti PMB-LIPI dan Alumnus Madrasah Muallimin Muhammadiyah (1999)

Retrieved from: http://anakpanahinstitute.org/amien-rais-dan-gusdur-dalam-ingatan-publik/

Monday, February 2, 2015

Mendiagnosa Neo-Sufisme Muhammadiyah

Oleh Hasnan Bachtiar

Pembuka Wacana
LEBIH dari se-Abad usia Muhammadiyah (l. 1912) hingga kini, sufisme masih menjadi hal yang kontroversial. Muhammadiyah lebih dikenal sebagai gerakan Islam yang puritan, dari pada mengapresiasi unsur-unsur sufisme. Karena itu, agak beresiko tatkala membicarakan dimensi sufistik dalam Muhammadiyah, sementara beberapa ahli agama di dalam Muhammadiyah sendiri, menolak sufisme.

Kekhawatiran ini juga dirasakan oleh Mitsuo Nakamura. Dalam catatan observasi antropologis yang berjudul, “Sufi Elements in Muhammadiyah?” (1980: 1-16), disebutkan bahwa tidak mungkin memasukkan Muhammadiyah ke dalam kategori aliran sufisme. Sufisme di sini, dalam pengertian sebagai institusi sufi yang formal. Pada satu kesempatan bersama K.H. A.R. Fachruddin, Nakamura menanyakan, “Apakah mungkin bagi Muhammadiyah untuk menjadi gerakan sufisme atau tarekat?” Pimpinan Muhammadiyah tersebut menjawab, “Mustahil!” (1980: 9).

Namun di tengah keputusan tegas A.R. Fachruddin, ia menjelaskan kembali bahwa, dalam ber-Muhammadiyah, sangat penting untuk menonjolkan akhlak yang baik. Isyarat ini, sangat menarik minat para peneliti tentang Muhammadiyah, karena dalam batas-batas puritanisme yang ada, ternyata persyarikatan ini mengapresiasi wilayah abu-abu, di antara hukum-hukum agama dan substansi moral sufisme.

Sebenarnya, apakah jalan puritanisme yang ditempuh Muhammadiyah merupakan tujuan beragama itu sendiri, ataukah ada substansi lain, yang mengarah kepada dimensi-dimensi ruhaniah suatu agama? Pertanyaan ini sangat penting diajukan, mengingat sulitnya mendapatkan kepastian jawaban mengenai sufisme dalam Muhammadiyah.

***

Setahun sebelum meneliti elemen sufisme di dalam Muhammadiyah, Nakamura membacakan kertas kerjanya yang berjudul, “The Reformist Ideology of Muhammadiyah” pada diskusi panel “Focus on Islam” di Australian National University (1979). Dalam forum tersebut, ia berpendapat bahwa, puritanisme Muhammadiyah merupakan sekedar jalan yang ditempuh, demi meraih tujuan yang lebih utama. Dalam benaknya, Muhammadiyah adalah organisasi Islam, yang mencoba memperbaiki kondisi sosial keagamaan masyarakat. Sementara itu “puritanisme” adalah pilihan pragmatis demi menegakkan agama yang benar dan menjunjung martabat kemanusiaan.

Dalam menggambarkan secara lebih kontekstual persoalan ini, Nakamura mengutip Statuta Pimpinan Muhammadiyah dalam makalahnya:

    “Di mana-mana pada setiap jalan atau desa, kita jumpai bangsa kita sengsara karena miskinnya. Misalnya banyak orang sakit atau mati, dan tak seorang pun menolongnya. Hal ini menimbulkan rasa kasihan. Siapa yang paling berkewajiban membantu mereka? Kita sendiri, bukan? Menolong orang dari penderitaan merupakan kewajiban kita. Kita umat manusia hidup dalam dunia ini.” (Statuten Centrale Padvinders Vereeniging di Djogjakarta, Statute of Central Scouts Association of Yogyakarta, 1921: 4).

Dari penjelasan ini sebenarnya memberikan informasi bahwa, puritanisme Muhammadiyah sama sekali tidak bertentangan dengan substansi moral sufisme, yaitu “akhlak”. Puritanisme keagamaan adalah strategi untuk pemerdekaan sosial. Demikian pula dengan akhlak yang mulia, telah menaruh perhatian yang tinggi atas persoalan-persoalan kemanusiaan.

Berhadapan dengan realitas kesengsaraan umat, Muhammadiyah memilih jalan sosial yang berbasis pada inspirasi teologis. Berdasarkan pada pemahaman yang mendalam dari surat al-Ma’un, maka didirikanlah rumah yatim piatu, klinik kesehatan, rumah sakit dan sekolah-sekolah, serta perkumpulan-perkumpulan yang mendorong kemajuan banyak hal, misalnya pembaruan manajemen zakat. Boleh kiranya menyebut hal ini sebagai perwujudan dari akhlak Islam yang baik, yang mencoba menerapkan kesempurnaan agama dalam kehidupan sehari-hari. Pembicaraan mengenai akhlak ini, tergambarkan pada tulisan berikut:

    “Menurut ajaran Islam, dari pada digunakan untuk kesombongan yang berlebih-lebihan (seperti membangun makam), kekayaan lebih baik digunakan untuk hal-hal yang lebih berguna, seperti membangun sekolah, rumah-rumah ibadah, mesjid, rumah sakit, rumah yatim piatu dan sebagainya, manfaat dari itu dapat langsung dirasakan oleh masyarakat dan menjadi amal yang kekal.” (Musthofa Kamal Pasha dan Chusnan Jusuf, Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam, Yogyakarta: Majelis Pustaka Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 1977: 9).

Keberlangsungan praktik akhlak ini, benar-benar berjalan sesuai dengan prinisp agama yang benar. Puritanisme yang ada, bukan berarti memberangus seluruh unsur kebudayaan lokal. Segala hal yang baik dari lokalitas, tetap dipertahankan sepanjang memiliki nilai 2.KaharMuzakirsubstansial yang sama dengan ajaran agama. Misalnya, Nakamura pernah meneliti tentang praktik “keikhlasan” salah seorang tokoh Muhammadiyah, Abdul Kahar Muzakkir. Dalam paper yang berjudul, “Professor Haji Kahar Muzakkir and the Development of the Muslim Reformist Movement in Indonesia” (1975), antropolog kenamaan ini menjelaskan bahwa ajaran agama puritan sekalipun, tidak selalu berlawanan dengan kebudayaan lokal.

Secara lebih jauh, ia menuliskan riwayat seorang tokoh Muhammadiyah yang telah mengamalkan salah satu ajaran akhlak di sepanjang kehidupannya, yaitu keikhlasan. Yang menarik, ikhlas yang berasal dari bahasa agama Islam yaitu Arab, mendapatkan pengertian yang justru berbasis pada penghayatan Jawa yang cenderung beraroma ajaran agama Hindu. Bagi seorang Kahar, ikhlas berlawanan dengan pamrih. Pada prinsipnya, seorang Muslim yang baik, harus “Sepi ing pamrih, rame ing gawe” (bebas dari kepentingan diri sendiri, giat dalam bekerja). Konsepsi ini ternyata juga menjadi semboyan gerakan Muhammadiyah (Verslag Moehammadijah di Hindia-Timoer, Tahun ke X, Djokjakarta: Pengoroes Besar Moehammadijah, 1923: 11; Peringatan Congres Moehammadijah ke-XXI, Yogyakarta: Hoofdbestuur Moehammadijah Hindia-Timoer, 1932: 42).

Dari beberapa hasil penelitian Nakamura tersebut, dapat dirumuskan sebuah benang merah bahwa, sebenarnya Muhammadiyah mengafirmasi sufisme. Hanya saja, sufisme Muhammadiyah memiliki pengertian yang berbeda dengan makna sufisme secara umum. Dalam pengertian yang umum, Harun Nasution pernah meringkaskan beberapa definisi “sufi” yang pada akhirnya bermuara pada dua kata kunci, yaitu “kesucian diri” dan “langkah menuju Tuhan” (Harun Nasution 1973: 56-58). Annemarie Schimmel secara lebih berhati-hati menjelaskan liarnya definisi atas istilah sufisme. Namun, dari pada melakukan uji filsafati dalam persoalan ini, tampaknya ia lebih memilih istilah “cinta kepada Tuhan” untuk menyebut sufisme (Schimmel, 2000: 17). Menyucikan diri dan meneguhkan langkah menuju keridhaan ilahi, karena semata-mata cinta kepada Allah, telah dilakukan oleh Muhammadiyah melalui praktik “akhlak” yang baik. Dengan kata lain, sesungguhnya akhlak adalah hal yang sangat penting, untuk menandai adanya kualitas-kualitas sufistik di dalam Muhammadiyah. Kiranya hipotesa ini perlu diteliti kembali untuk menumbuhkan keyakinan akademik mengenai sufisme dan Muhammadiyah.

Sufisme dan Muhammadiyah

Adalah Masyithoh Chusnan dalam artikelnya yang bertajuk, “Meneropong Wajah Tasawuf dalam Muhammadiyah” (2009) menyebut bahwa, Muhammadiyah mengapresiasi salah satu jenis sufisme, yang berorientasi pada praktik akhlak. Karena itulah, tidak mustahil bila tasawuf Muhammadiyah disebut dengan istilah tasawuf akhlaki. Ahmad Muttaqin dalam papernya yang berjudul “Muhammadiyah dan Sufisme” (2009) mencatat bahwa beberapa konsepsi akhlak, seperti “ihsan” dan “spiritualitas” tertulis di dalam beberapa dokumen resmi Muhammadiyah seperti Kepribadian Muhammadiyah, Matan dan Cita-Cita Hidup Warga Muhammadiyah, dan Manhaj Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam.

Sementara itu Ibnu Jarir dalam tulisan yang berjudul “Tasawuf di Kalangan Muhammadiyah” menjelaskan bahwa kendati Muhammadiyah tidak memakai istilah tasawuf, – dengan alasan tidak pernah ada istilah tersebut dalam praktik beragama Nabi Muhammad – namun persyarikatan ini menekankan pentingnya akhlaq al-karimah. Serangkaian sifat-sifat utama seperti: taqwa, zuhud, sabar, faqr, qana’ah, tawakal, ikhlas, syukur, ridha, wara’, tawadhu’, raja’, tobat dan lain-lain sebagaimana dicontohkan Rasulullah, ditekankan oleh para pemuka Muhammadiyah kepada warganya.

Secara historis, para pemimpin Muhammadiyah gemar mempraktikkan sifat-sifat utama yang sesuai dengan Sunnah Nabi tersebut. Tidak terkecuali pendiri Muhammadiyah sendiri, KH. Ahmad Dahlan bahkan menuliskan nasehat tentang kematian yang dipajang di kamarnya. Senantiasa mengingat mati, adalah ajaran Nabi untuk mendekatkan diri kepada Allah. Ahmad Najib Burhani dalam tulisan yang berjudul “Ketika Muhammadiyah Melirik Tasawuf” (2002) berpendapat bahwa, terdapat pengaruh sufisme yang kuat pada kehidupan KH. Ahmad Dahlan. Secara lebih jauh, ia menjelaskan:

    “Kata-kata mutiara sufi kenamaan Hasan Basri yang senantiasa mengingatkan manusia akan kematian dan hari pembalasan di kemudian hari bergema dalam ungkapan-ungkapan pendiri Muhammadiyah itu. Anjuran-anjuran sufi besar Al-Muhasiby yang menekankan bahaya penyakit riya (hiprokasi), dan Yahya ibn Muaz tentang peringatan kematian dapat ditemukan persamaannya dalam anjuran-anjuran tokoh dari Kauman Yogyakarta ini.”

Perkara ini jelas tidak bisa begitu saja dilepaskan dari pengalaman intelektual KH. Ahmad Dahlan. Selain terpengaruh ide-ide “tajdid” dari para pembaharu Muslim seperti Ibn Taimiyah, Ibn al-Qayyim, Muhammab bin Abd al-Wahhab, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, ia juga terpengaruh pemikiran-pemikiran sufistik al-Ghazali. Berdasarkan sumber dari K.R.H. Hadjid, salah seorang murid KH. Ahmad Dahlan, Masyithoh mengemukakan bahwa, pendiri persyarikatan ini gemar membaca kitab-kitab sufi seperti, Ihyâ ‘Ulûm al-Dîn, Bidâyah al-Hidâyah, Kimiyah al-Sa’âdah dan Kitab al-Arba’în fî Ushûl al-Dîn. Dalam uraiannya, Masyithoh menjelaskan:

    “…keakraban kehidupan spiritual yang dekat dengan wilayah tasawuf juga mewarnai kepribadian pendiri gerakan pembaruan dalam Islam ini. Bahkan beberapa penerusnya seperti Ki Bagus Hadikusumo, cukup intens dalam kehidupan wilayah ini (baca: bertasawuf). Dia menekankan pentingnya akhlak luhur dan kesederhanaan dalam hidup. Ia prihatin terhadap krisis akhlak yang melanda umat. Banyak orang mengaku Muslim (KTP-nya Islam), tetapi perilakunya tidak Islami.”

Barangkali, “tajdid” inilah yang membangun kerangka pemikiran Muhammadiyah. Menurut sejarah, Muhammadiyah memberikan dua pengertian terhadap tajdid: yang pertama bermakna pemurnian; sementara yang kedua bermakna pembaruan. Dari segi akidah, Muhammadiyah berusaha memurnikan dirinya dari segala bentuk kesyirikan, namun dari segi sosial kemanusiaan, persyarikatan ini berusaha keras untuk meraih kemajuan-kemajuan (Haedar Nashir 2010: 8-9). Karena itulah, dapat dimengerti mengapa gerakan Islam ini menerima konsepsi akhlak di satu sisi, namun di sisi lain menolak istilah sufisme di dalam manhaj pemikirannya.

Kehati-hatian dalam pemurnian dan komitmen untuk kembali kepada al-Qur’an dan al-Sunnah, membawa Muhammadiyah kepada keputusan yang membersihkan diri dari istilah sufisme atau tasawuf. Di samping di dalam al-Qur’an tidak ada perintah untuk menjadi sufi, di dalam Hadits sebagai satu-satunya sumber informasi kehidupan Nabi, juga tidak terdapat teladan agar supaya pengikut Muhammad berkhidmat kepada sufisme. Cara berpikir yang demikian, secara substansial bukan berarti menolak dimensi sufistik. Justru nilai-nilai sufistik yang mulia seperti akhalq al-karimah, menjadi prinsip hidup yang senantiasa melekat dalam kehidupan Muhammadiyah. Masyithoh menjelaskan bahwa:

    “…ternyata dalam praktik pemimpin dan anggotanya banyak yang mencerminkan dan menekankan pentingnya kehidupan spiritual yang sangat dekat dengan wilayah tasawuf. Keharusan hidup untuk mensucikan jiwa (akhlaq) yang bersumber dari ajaran agama dan berkehendak menaati seluruh perintah Allah berdasarkan Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah Saw. serta ‘menyifatkan dirinya dengan sifat-sifat Allah’, merupakan ciri dan perilaku kehidupan tasawuf. Meskipun perilaku seperti itu pada zaman Rasul tidak disebut tasawuf, karena istilah atau laqab (julukan) sufi pada saat itu belum ada. Istilah ini baru muncul pada akhir abad dua atau awal abad tiga Hijriyah.”

Sekali lagi, pemurnian inilah yang membawa Muhammadiyah kepada pemikiran sufistik akhlaki, sufistik Sunni atau sufistik syariati. Namun, mengenai tajdid yang bermakna pembaruan, justru memberikan wajah lain yang lebih menarik perhatian. Inilah yang menjadikan para sarjana harus memberi pengertian lebih dari sekedar sufisme akhlaki bagi Muhammadiyah. Misalnya Kuntowijoyo menegaskan bahwa, transformasi teologi al-Ma’un menjadi amal usaha, mustahil hanya karena sekedar ketaatan terhadap tekstualitas kitab Suci. Artinya, konsepsi al-ruju’ ila al-Qur’an wa al-Sunnah melampaui paham keagamaan yang bersifat skripturalisme. Unsur transformatif dalam Muhammadiyah, sangat masuk akal bila dipandang melalui penelusuran dimensi sufistik tersebut. Dengan demikian, apakah sufisme Muhammadiyah termasuk dalam tipologi sufisme yang baru? Penting kiranya mendiskusikan konsepsi neo-sufisme yang kemungkinan melekat di dalam Muhammadiyah.

Neo-Sufisme Muhammadiyah
Sebenarnya, istilah neo-sufisme merupakan pengertian para sarjana yang menimbang Islam fundamentalis, yang mengapresiasi nilai-nilai sufistik. Dengan istilah ini, Fazlur Rahman menunjuk pada mereka yang condong kepada pemikiran Ibn Taimiyah dan muridnya, Ibn al-Qayyim (Fazlur Rahman, 1984: 79). Keduanya, memiliki orientasi purifikasi keagamaan (akidah) yang kuat. Alih-alih mengafirmasi sufisme, namun mereka terikat erat dengan pelbagai aturan syariat, sebagai alat baku untuk menentukan kebenaran otentik suatu agama. Kejadian ini memang perlu dimaklumi bila melihat konteks sosio-politik saat itu. Persoalannya, ketika ekspansi modernisme yang genap disandingkan dengan kolonialisme dan imperialisme dunia Barat terhadap dunia Timur, khususnya negara-negara Muslim, maka langkah revivalisme merupakan pilihan rasional yang paling masuk akal oleh beberapa gerakan dan pemikiran Islam yang berpengaruh di dunia. Kembali kepada unsur agama yang paling otentik, adalah obat mujarab untuk menantang, melawan dan memukul balik pelbagai doktrin dan pemikiran para penjajah (Muhammad Sirozi, 2005: 81-120).

Lebih dari sekedar fundamentalisme agama, Fazlur Rahman memberikan pandangan yang lebih progresif mengenai neo-sufisme. Profesor studi Islam dari Universitas Chicago ini menjelaskan bahwa, neo-sufisme adalah bentuk spiritualisasi moral masyarakat secara luas (1984: 196-205). Maksudnya, dari pada sufisme menjadi dominasi individual para pecinta Tuhan semata-mata, sementara tanpa memikirkan pengaruh agama terhadap perubahan sosial secara umum, maka pembaruan sufisme (reformed sufism), penting kiranya diupayakan dalam rangka menyelaraskan visi dan misi yang sesungguhnya dari kitab suci. Ibn al-Qayyim pernah melontarkan kritik yang pedas terhadap praktik sufisme, yang asyik masyuk dengan pengalaman ekstase mencintai Tuhan, sementara mereka melupakan pelbagai aspek peribadatan yang digariskan oleh hukum syariat, terlebih persoalan sosial kemanusiaan yang memerlukan sumbangsih besar dari orang-orang Muslim yang seharusnya peduli. Ia menandaskan bahwa, “…ketika para sufi begitu hanyut dalam cinta Ilahiahnya, sementara ia melupakan kemanusiaan dan beribadah kepada Allah, karena begitu menikmati cinta untuk kepentingannya sendiri, maka tidak ada bedanya dengan kecintaan terhadap manusia.” Setali tiga uang, Ibn Taimiyyah mengajukan kritik bahwa, “Mencurahkan dirinya kepada Tuhan secara eksklusif, itu sama saja dengan memberikan kesempatan kepada iblis untuk datang mendiami pikiran kosongnya secara bebas, atas apa yang dilakukannya.” (Fazlur Rahman, 2003: 108-109).

Dari sini jelas bahwa, sebetulnya istilah neo-sufisme memang datang dari Fazlur Rahman sendiri, namun ia secara jujur mengungkapkan bahwa dirinya terinspirasi dari Kitab al-Istiqama karya Ibn Taimiyyah. Dalam literatur tersebut, ulama’ ortodoks Arab ini mengajukan istilah al-kalam al-muhdats dan al-tasawuf al-muhdats, untuk menunjuk konsep akidah yang benar (neo-teologi) dan tasawuf yang benar (neo-sufisme) (Fazlur Rahman, 2003: catatan dari hal 133). Sekali lagi, dalam konsep neo-sufisme ini ditegaskan beberapa hal, yaitu: keterikatan terhadap syariah (puritanisme); spiritualisme yang tidak bersifat individual; dan mengandung unsur sosialisme yang alamiah. Melalui peneguhan konsepsional ini, terdapat beberapa konsekuensi terhadap sufisme yang sebelumnya. Konsekuensi ini misalnya, menyangkut persoalan tarekat, eksklusivitas dan keberadaan mursyid atau pemilik otoritas spiritual. Ahmad Najib Burhani mengelaborasi lebih jauh konsekuensi ini dalam konteks masyarakat yang lebih maju bahwa, neo-sufisme (seperti yang dicirikan oleh Fazlur Rahman) yang berkembang di masyarakat, sama sekali tidak mengenal tarekat, bersifat sangat terbuka atau inklusif, tidak memerlukan guru spiritual, didominasi kaum terpelajar dan diikuti oleh kelas menengah, baik secara ekonomi dan intelektual (Najib Burhani, 2001: 13).

Dari pandangan-pandangan ilmiah mengenai neo-sufisme, patut diajukan pertanyaan bahwa, apakah mungkin Muhammadiyah juga mengandung dan mempraktikkan diskursus yang serupa? Menilik hasil penelitian yang dilakukan oleh Abdul Munir Mulkhan, yang berjudul, “Neo-Sufisme dan Pudarnya Fundamentalisme di Pedesaan” (2000), sesungguhnya memberikan gambaran jelas kepada kita bahwa, Muhammadiyah sepenuhnya memiliki kecocokan atas pelbagai konsep dan syarat-syarat yang diajukan oleh para sarjana mengenai neo-sufisme. Secara individual, KH. Ahmad Dahlan memiliki kesalehan batin yang khas seperti yang dimiliki oleh para Sufi, sehingga memunculkan diskusi tentang hati suci dan akal suci (Munir Mulkhan, 2000: 73-75). Berjalan beriringan dengan hal tersebut, Islam murni sebagai dasar, tetap menjadi landasan utama dalam ber-Muhammadiyah. Itulah mengapa kemudian muncul istilah “sufitisasi pemurnian Islam” (2000: 221-236). Di samping itu, praksis sosial kemanusiaan merupakan ciri khas yang tidak bisa dilepaskan dalam keseharian organisasi Islam ini.

Pendek kata, menurut refleksi Khozin, sebenarnya neo-sufisme Muhammadiyah merupakan state of mind, yang menandai adanya gerak reflektif keagamaan, dari kepekaan teologis menuju kepekaan sosial (Khozin, 2004: 15-20). Dengan demikian, yang memungkinkan adanya “neo-sufisme Muhammadiyah” adalah: pertama, mengapresiasi pelbagai konsepsi spiritual dan akhlak dalam sufisme, kendati tanpa tarekat dan mursyid; kedua, tetap berpijak pada hukum syariat yang bergerak menuju otentisasi (purifikasi); ketiga, pemberlakuan syariat Islam tidak menghapuskan dimensi spiritual agama, dengan kata lain terjadi sufitisasi pemurnian Islam atau spiritualisasi syariat; keempat, manifestasi teologis yang dimiliki berupa praksis sosial kemanusiaan. Di titik inilah Muhammadiyah layak disebut mengafirmasi pelbagai dimensi tasawuf. Namun berbeda dengan tasawuf pada umumnya, sehingga atas konsepsi neo-sufisme yang dirumuskan oleh para sarjana, sepenuhnya telah menjadi pandangan hidup yang menyatu dalam keberlangsungan hidup Muhammadiyah.

Demikianlah prakiraan ilmiah mengenai diagnosa dimensi neo-sufisme di dalam tubuh institusi sosial keagamaan Muhammadiyah. Betapapun secara organisasional atau secara fiqih, banyak kalangan menilai bahwa Muhammadiyah “anti-tasawuf” atau bahkan menggugat dan menghujat sufisme, secara substansial-teoretik, Muhammadiyah sangat erat dengan konsep yang essensial di dalam agama Islam. Hasil diagnosa yang menyebutkan bahwa, Muhammadiyah bertasawuf dengan model baru (neo-sufisme), merupakan pelengkap, penjelas, bantahan dan bahan dialog lebih lanjut di hadapan mimbar akademik yang kerap menyebut bahwa Muhammadiyah adalah gerakan puritan, anti-tasawuf dan konservatif an sich. Semoga pertimbangan sederhana ini bisa menjadi masukan bagi para sarjana pengkaji Muhammadiyah.[]

Hasnan Bachtiar adalah Peneliti Filsafat di Pusat Studi Islam dan Filsafat, Universitas Muhammadiyah Malang dan Aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah

Bibliografi
Burhani, Ahmad Najib, “Ketika Muhammadiyah Melirik Tasawuf,” Jurnal Media Inovasi, No. 1. TH. XII/2002., h. 28-29.

Hoofdbestuur Moehammadijah Hindia-Timoer, Peringatan Congres Moehammadijah ke-XXI, Yogyakarta: Hoofdbestuur Moehammadijah Hindia-Timoer, 1932.

Jarir, Ibnu, “Tasawuf di Kalangan Muhammadiyah” http://muhammadiyahstudies.blogspot.com diakses pada 19 Agustus 2014.

Khozin, Refleksi Keberagamaan dari Kepekaan Teologis menuju Kepekaan Sosial, Malang: UMM Press, 2004.

Masyitoh Chusnan, “Meneropong Wajah Tasawuf dalam Muhammadiyah,” http://muhammadiyahstudies.blogspot.com diakses pada 19 Agustus 2014.

Mitsuo Nakamura, “Sufi Elements in Muhammadiyah? Notes from Field Observation”, Prisma Vol. 9, No. 8, (Jakarta: LP3ES, 1980).

Mulkhan, Abdul Munir, Neo-Sufisme dan Pudarnya Fundamentalisme di Pedesaan, Yogyakarta: UII Press, 2000.

Muttaqin, Ahmad, “Muhammadiyah dan Sufisme” (2009) http://muhammadiyahstudies.blogspot.com diakses pada 19 Agustus 2014.

Nakamura, Mitsuo, “Professor Haji (Abdul) Kahar Muzakkir and the Development of the Muslim Reformist Movement in Indonesia,” in B. Anderson and M. Slamet, (eds.) Religion And Social Ethos In Indonesia, Melbourne, 1977.

Nakamura, Mitsuo, “The Reformist Ideology of Muhammadiyah,” in Fox, James J., Indonesia, the Making of a Culture, Indonesia, Australian perspectives, v. 1. Canberra: Research School of Pacific Studies, Australian National University, 1980.

Nasution, Harun, Falsafat dan Misticisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1973.

Pasha, Musthofa Kamal dan Chusnan Jusuf, Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam, Yogyakarta: Majelis Pustaka Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 1977.

Pengoroes Besar Moehammadijah, Verslag Moehammadijah di Hindia-Timoer, Tahun ke X, Djokjakarta: Pengoroes Besar Moehammadijah, 1923.

Rahman, Fazlur, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition, Chicago: The Chicago University Press, 1984.

Rahman, Fazlur, Revival and Reform in Islam: A Study of Islamic Fundamentalism,  Oxford: Oneworld, 2003.

Schimmel, Annemarie, Dimensi Mistik dalam Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000.

Sirozi, Muhammad, “The Intellectual Roots of Radical Islam in Indonesia,” The Muslim World, Vol. 95 (Januari 2005), h. 81-120.

Back

- See more at: http://irfront.net/post/opinion-features/mendiagnosa-neo-sufisme-muhammadiyah/#sthash.TX3nNYD2.dpuf