Wednesday, July 25, 2012

Kang Moeslim

Kang Moeslim
Jumat, 20 Juli 2012, 17:08 WIB
Republika/Daan

REPUBLIKA.CO.ID,
oleh: Nasihin Masha

Kecil dan ramping. Ramah dan renyah. Pintar dan bersikap. Kritis namun lucu. Itulah gambaran Kang Moeslim—panggilan akrab terhadap Moeslim Abdurrahman. Pada 6 Juli 2012 lalu, cendekiawan itu telah meninggalkan kita semua untuk selamanya. Pria yang dibesarkan dalam tradisi Muhammadiyah itu lebih banyak bergaul di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU). Ini karena kedekatannya dengan Gus Dur, dekat secara fisik mau pun secara pemikiran. Karena itu, banyak yang mengira bahwa dia itu NU. Tak salah juga.

Kang Moeslim memang kurang berkiprah di Muhammadiyah. Kemuhammadiyahannya baru dikentalkan lagi ketika dia menggagas Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) pada awal dekade 2000-an mau pun ketika menjadi pengurus Muhammadiyah pada masa kepemimpinan Buya Syafi’i Ma’arif. Walaupun JIMM tak banyak lagi bergiat, namun kaderkader yang ia didik sudah banyak yang mulai moncer. Di kalangan JIMM, nama Kang Moeslim tetap melekat.

Pembentukan JIMM, pada tingkat tertentu, merupakan respons terhadap “kegagalan” Jaringan Islam Liberal (JIL). Dua lembaga anak-anak muda santri ini ingin meneruskan semangat gerakan modernisasi dan liberalisasi Islam. Namun, gaya JIL yang provokatif dan membawa semangat perlawanan terhadap semua membuat gerakan ini mendapat respons yang keras dan menimbulkan gerakan antitesis. Tentu saja hal itu membawa kegagalan sejak di titik start.

JIMM ingin tampil lebih elegan dan dingin. Namun, momentum itu tak berpihak pada JIMM. Suasana yang diciptakan JIL telah membuat JIMM langsung dibungkus para penentangnya dalam keranjang yang sama dengan JIL. Kang Moeslim memang orang yang selalu mencari. Ia gelisah. Gerakannya selalu berada pada level civil society. Ketika para kolega dan seniornya di LSM menggagas pembentukan ICMI, Kang Moeslim memilih tak bergabung. Mitranya, Gus Dur, langsung menggagas Forum Demokrasi— lembaga yang pada tingkat tertentu secara vis a vis melawan ICMI.

Pada masa reformasi, Kang Moes lim menjadi salah satu deklarator Partai Amanat Nasional. Bahkan, ia kemudian bergabung dengan Partai Kebangkitan Bangsa dan juga Partai Republikan. Langkah-langkah politiknya memang aneh. Pria kelahiran Lamongan, Jawa Timur, pada 1948, ini dikenal sebagai pencetus ide Islam Transformatif. Itulah kegelisahan utamanya. Islam harus bisa mentransformasi masyarakat. Terutama karena ada masalah penindasan dan ketidakadilan sosial. Nilai-nilai Islam tak boleh hanya mewujud dalam kesalehan pribadi dan ritual saja.

Nilai-nilai Islam harus menjadi kesalehan sosial yang membebaskan umat dari belenggu kemiskinan, ketertindasan, kebodohan, maupun keterbelakangan. Ide-idenya harus diakui berbau Marxis. Lebih tepatnya ia terpengaruh teologi pembebasan yang berkembang di Amerika Latin. Ide-ide dan langkah-langkah Moeslim ini menimbulkan respons keras dari sebagian aktivis Islam. Hanya saja, dia bukan dosen dan aktivis organisasi seperti Cak Nur, juga bukan pimpinan ormas seperti Gus Dur.

Hal itu menempatkan dirinya tak berada di ruang publik. Karena itu, ia tak banyak mendapat sorotan. Dengan demikian, respons terhadap dirinya pun menjadi tak menonjol. Pada sisi lain, pendapat-pendapatnya yang tajam diungkapkan dengan gaya yang persuasif dan tone suara yang enteng. Itulah sebagian dari kelebihan Moeslim dalam memperjuangkan ide-idenya.

Redaktur: M Irwan Ariefyanto
Sumber: resonansi

Sunday, July 22, 2012

Mas Moeslim dan Muhammadiyah

CATATAN LEPAS
Mas Moeslim dan Muhammadiyah
oleh: Hajriyanto Y. Thohari

Gatra, 18 Juli 2012

Mas Moeslim Abdurrahman (Lamongan, 8 Agustus 1958-Jakarta, 6 Juli 2012) adalah seorang putra Muhammadiyah yang sangat progresif dan inklusif. Dia sangat bisa bercanda dan bergaul rapat dengan siapa saja tanpa membedakan latar belakang politik, suku dan agama, apalagi cuma aliran atau ormas. Dia orang yang sangat terbuka pemikirannya, bahkan sering dituding sebagai liberal. Tak mengherankan, dia menginginkan Muhammadiyah menjadi “tenda besar” umat.

Sejak pulang dari Amerika Serikat setelah lulus PhD di bidang antropologi dari The University of Illinois pada 1990-an, mas Moeslim benar-benar menampilkan diri sebagai cendekiawan bebas. Saking seringnya saling ledek dan olok di antara kami, dia terkekeh ketika saya pernah menyebutnya secara salah sebagai “petualang intelektual” dalam pengertiannya yang positif, bukan peyoratif. Bagi kaum awam ia dikenal suka berpindah-pindah dan meloncat-loncat dari satu bidang aktivisme ke aktivisme yang lain dengan enteng-enteng saja.

Suatu saat kita menemukannya rapat sekali dengan Hariman Siregar dan Fanny Habibie dalam satu lingkaran politik. Di lain waktu, dia menjadi Pemimpin Redaksi Pelita, aktivis Partai Amanat Nasional (PAN), dan bahkan pernah maju sebagai calon ketua umumnya. Suatu saat lagi ia sangat rapat dengan Gus Dur, bahkan menjadi Majelis Syura DPP PKB dan caretaker Ketua PKB Jakarta. Hanya—ini mengherankan—Presiden Gus Dur tidak juga menunjuk orang pintar ini menjadi menterinya.

Tentang loncatan-loncatan sosial politiknya yang sulit diduga itu, dia mengatakan kepada saya bahwa “itu cuma patrol”. Maksudnya, hanya duduk-duduk dengan berbagai kalangan yang berbeda sekadar untuk mengerti bagaimana setiap kelompok bersikap tentang suatu hal. Politik di Indonesia itu, kata Mas Moeslim, cuma politik patrol. Kadang patrol ke sini, kadang patrol ke sana.

Mas Moeslim seorang pemikir sejati yang paling pas beraktivitas di bidang intelektual. Berbeda dengan Pak Malik Fadjar, yang dengan tangan dingin dan jauh dari gegap gempita berhasil menangani pendidikan, Mas Moeslim lebih tepat menjadi man of reflection daripada man of action. Maka ketika Buya Syafi’I Maarif menjadi Ketua, saya Wakil Sekretaris, dan Mas Moeslim menjadi Ketua Lembaga Tani, Buruh dan Nelayan PP Muhammadiyah, praktis tidak ada yang kongkret yang bisa kami kerjakan.

Kami memang sempat keliling ke cabang-cabang Muhammadiyah. Tetapi, kecuali pencerahan intelektualisme, tidak ada yang kongkret yang kami kerjakan di bidang tani, buruh dan nelayan. Tak mengherankan, begitu memasuki sidang tanwir di mana majelis-majelis dan lembaga harus melaporkan kegiatannya selama satu tahun untuk dievaluasi, kami suka kebingungan apa yang mesti dilaporkan. Tetapi dasar Mas Moeslim, tetap saja dia bisa berbicara panjang lebar di depan sidang tanwir itu.

Tidak demikian halnya dalam aktivitas intelektualisme: Mas Moeslim adalah sebuah fenomena, bahkan fenomena itu sendiri. Dialah sejatinya yang berada di balik Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) yang sempat menghebohkan itu, sampai ada seorang tokoh Muhammadiyah yang tega memplesetkan JIMM itu sebagai—jangan ketawa—“Jaringan Iblis Muda Muhammadiyah”! Mas Moeslim berhasil membina mereka, dari tangannya kini ada belasan anak-anak JIMM menggondol Ph.D dari berbagai universitas di Barat.

Tetapi, dasar aktivis yang suka loncat indah, Moeslim jugalah yang memperkenalkan teologi Al-Ma’un yang diadopsi dari Sang Pencerah, Kiai Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah (1912). Bayangkan, seorang pemikir justru mengkampanyekan teologi yang sangat mementingkan praksis itu.

Syahdan, pada suatu ketika, Dahlan mengajarkan S. Al-Ma’un kepada para muridnya:”Tahukah kalian siapa yang mendustakan agama itu? Pendusta agama adalah orang-orang yang menelantarkan anak-anak yatim dan tidak peduli pada orang-orang miskin. Celaka orang-orang yang salat, yaitu orang-orang yang lalai dalam salatnya, suka pamer (riya’), dan enggan memberikan bantuan kepada orang-orang yang membutuhkan.”

Uniknya, beberapa kali pengajian berikutnya, Kiai Dahlan mengulang dan mengulang lagi S.Al-Ma’un itu sampai mereka tidak tahan lagi untuk tidak protes:”Kiai, mengapa diulang-ulang terus penjelasan S.Al-Ma’un itu? Kami sudah mengerti, bahkan sudah hafal.” Dengan tenang Dahlan menjawab:”Kalian memang sudah mengerti dan memahami S.Al-Ma’un, tetapi apakah sudah kalian amalkan?” para muridnya itu terdiam seribu bahasa. Al-ilmu bi la ‘amalin ka’l-syajarati bi la tsamarin, ilmu yang tidak diamalkan bagaikan pohon yang tidak berbuah.

Mas Moeslim melakukan revitalisasi teologi Al-Ma’un dan teologi transformatif melalui Lembaga Buruh, Tani, dan Nelayan. Dengan sangat getol dia mencoba menghadirkan bidang yang masih langka di kalangan Muhammadiyah dan gerakan Islam. Mas Moeslim Abdurrahman telah memulainya. Selamat jalan, Mas…

Friday, July 13, 2012

Gus Dur Selalu Ngakak Bila Ada Kang Moeslim

OBITUARI
Gus Dur Selalu Ngakak Bila Ada Kang Moeslim
Oleh Muhammad AS Hikam
RMOL, Senin, 09 Juli 2012 , 16:41:00 WIB

 KANG Moeslim Abdurrahman, bagi saya, adalah sosok multi-talenta. Ia bukan saja seorang penulis, peneliti, aktivis LSM, dosen, politisi, tetapi juga seorang yang penuh humor dan canda.

Sebelum mengenal almarhum face to face, secara intelektual saya sudah diperkenalkan oleh almaghfurlah Gus Dur beberapa tahun sebelumnya. Sering dalam obrolan di PBNU atau dalam perjalanan kluyuran bersama almaghfurlah dan Pak Ghofar Rahman (mantan Sekjen PBNU dan aktivis LSM juga), nama Kang Moeslim muncul dengan kekocakannya yang brilian. Bahwa Kang Moeslim adalah seorang intelektual Islam yang berlatarbelakang Muhammadiyah, tidak menjadi masalah bagi Gus Dur seperti juga intelektual dengan latar belakang lain. Maka sebelum saya bertemu Kang Moeslim di kampus Cornell University Ithaca, NY pada 1994 -kalau tak keliru, saya sudah mengagumi dan menjadikannya sebagai salah satu figur intelektual yang harus saya timba kawruh dan pengalamannya.

Dan memang tidak keliru. Bersama almaghfurlah Gus Dur, almarhum Cak Nurcholish Majid, almarhum Romo Mangunwijaya, almarhum Aswab Mahasin, Pak Djohan Effendi, Pak Chabib Chirzin dan beberapa nama cendekiawan dan aktivis senior lain, saya kira almarhum Kang Moeslim adalah salah satu "hero" dalam kehidupan kecendikiawanan saya. Kendati tak selalu sependapat dengan pandangan dan langkah-langkah politik almarhum, tapi toh tak menghalangi saya untuk selalu berusaha mengikuti perkembangan pemikirannya sampai detik terakhir.

Saya bertemu terakhir dengan almarhum saat Pak Hendroprijono mengadakan pesta ulang tahun dan peluncuran buku awal Mei 2012 lalu di Hotel Dharmawangsa. Waktu itu saya lihat beliau masih seperti biasa: ceria dan penuh canda dengan tampilan khasnya yang sangat sederhana untuk ukuran seorang cendekiawan kaliber internasional.

Kang Moeslim adalah figur cendekiawan hibrid, seperti juga Gus Dur almaghfurlah. Dia tidak merasa terlalu silau sebagai seorang doktor lulusan salah satu universitas terkemuka di AS, yakni University of Illinois at Urbana-Champaign. Sosok Kang Moselim selalu mengingatkan saya kepada sosok Asghar Ali Engineer, cendekiawan Muslim dari India yang sangat sederhana, kocak, dan brilliant, yang juga karib dari almaghfurlah Gus Dur.

Buat Kang Moeslim tidak ada hal yang tidak bisa dibahas secara mendalam dan non konvensional. Mirip almarhum Ahmad Wahib yang juga karib Pak Djohan Effendi, Kang Moeslim tak segan atau menghindar dari kontroversi kendatipun harus beresiko terhadap kehidupannya. Jarang seorang cendekiawan yang guyonnnya agak "kurang ajar" di hadapan Gus Dur, dan rasanya almaghfurlah pun selalu ngakak bila di sekitarnya ada beliau.

Kang Moeslim adalah cendekiawan muslim avant garde, yang pikirannya tak mau dihalangi batas-batas aliran dan benua. Seorang jebolan pesantren kampung tetapi juga mampu bicara dalam seluruh fora dunia tentang masalah-masalah keislaman yang terjait dengan kemiskinan, kesalehan beragama, dan trensformasi umat beragama termasuk Islam. Ia memang asli Muhammadiyah tetapi sangat dekat dengan NU karena beliau share dengan terobosan yang diupayakan Gus Dur almaghfurlah.

Kang Moselim juga mengakrabi para kampiun cendekiawan seperti Romo Mangun, dan Bu Gedong dari Bali karena kesamaan obsesi mereka dengan pendidikan dan menyantuni kaum miskin. Sama dengan almarhum Gus Dur, almarhum Ibu Gedong dan almarhum Romo Mangun, Kang Moeslim juga sangat mengagumi Paolo Freire yang model pendidikannya berupa membebaskan kaum miskin dari jebakan struktural dan model pendidikan elietis yang memantapakan struktur penindasan atas nama ilmu pengetahuan!

Saya sangat berhutang budi kepada Kang Moeslim karena kecermatannya dalam mengupas masalah dan kesederhanaan dalam hidup. Saya kehilangan salah satu figur cendekiawan setelah Gus Dur yang mampu membongkar urusan yang kompleks menjadi cukup sederhana tanpa pretensi keilmuan yang ndakik-ndakik. Kang Moeslim yang saya kenal adalah seorang cendekiawan yang membumi, dan seorang yang membumi dengan tuntunan kecendekiaan. Kang Moeslim, saya teramat kehilangan anda. Selamat jalan Kang, salam hormat saya untuk almaghfurlah Gus Dur. Insya Allah anda berdua akan bertemu dan guyon lagi dalam keabadian...[***]

Jakarta 9 Juli 2012

Penulis adalah mantan Menristek era Presiden Gus Dur, Wakil Rektor President University


Retrieved from: http://www.rmol.co/read/2012/07/09/70253/Gus-Dur-Selalu-Ngakak-Bila-Ada-Kang-Moeslim- 

Sunday, July 8, 2012

Kang Moeslim dan Muhammadiyah


Kompas, Senin, 09 Juli 2012

Oleh Ahmad Najib Burhani*

Juli dan Agustus 2012 ini, Kang Moeslim Abdurrahman (wafat, 6 Juli 2012) berencana mengumpulkan anak-anak didiknya yang selama beberapa tahun terakhir berdiaspora ke berbagai negara untuk menuntut ilmu. Mereka ini adalah anak-anak muda Muhammadiyah yang pada tahun 2002-2006 lalu dia kumpulkan dan bina dalam wadah JIMM (Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah). Berkat motivasi dan bimbingannya, mereka bisa pergi ke Amerika, Eropa, dan Australia untuk mengambil program master atau doktor. Diantara mereka yang kini telah selesai atau hampir selesai adalah Tuti Alawiyah (PhD, Univ. Texas-Austin), Hilman Latief (PhD, Univ. Utrecht), Alpha Amirrachman (PhD, Univ. Amsterdam), Ai Fatima (PhD, Univ. Leeds), Nur Hidayah (PhD, Univ. Melbourne), Boy Pradana (PhD, NUS), Andar Nubowo (PhD, Sorbonne), dan saya sendiri (PhD, Univ. California-Santa Barbara).

Tahun ini, ketika murid-murid Kang Moeslim pulang kembali ke Indonesia, berniat bertemu dengannya, dan menghidupkan jaringan yang dulu dibangun, rupanya Kang Moeslim meninggalkan kita semua untuk menghadap sang Ilahi. Barangkali tugas Kang Moeslim sebagai orang tua dan pemberi motivasi memang sudah selesai. Anak-anaknya sudah selesai menempuh jenjang tertinggi pendidikan, sudah dewasa dan mandiri. Namun kami sebagai anak-anaknya justru ingin bertemu dengannya sebagai bentuk terima kasih atas didikannya. Tapi rupanya Kang Moeslim tidak mau menerima ungkapan syukur kami. Dia meninggalkan kami sebelum kami sempat mengucapkan terima kasih dan membalas jasa-jasanya.

Kang Moeslim dan Orang Pinggiran
Selama empat tahun dalam bimbingan dan didikan Kang Moeslim, banyak hal yang telah dia ajarkan ke kita. Diantaranya adalah tentang tiga prinsip yang harus kita pegang dan lakukan dalam mereformasi Muhammadiyah, mengubah organisasi ini dari kebekuan dan sifat konservatif-nya. Tiga hal itu adalah hermeneutika, teori sosial, dan new social movement. Berbulan-bulan kita digembleng untuk memahami dan membumikan ketiganya dalam tubuh Muhammadiyah. Tiga pilar ini juga menjadi tumpuan paradigma gerakan JIMM sehingga ada tujuan yang jelas dan terarah.

Hal lain yang Kang Moeslim wariskan ke anak-anak Muhammadiyah, dan organisasi Muhammadiyah secara umum, adalah pengembangan ‘dakwah kultural’ dan kepedulian atau advokasi kepada buruh, tani, dan nelayan. Dua bidang ini adalah wilayah yang tak banyak disentuh oleh Muhammadiyah sebelum Kang Moeslim hadir kembali ke organisasi yang berdiri 1912 ini. Muhammadiyah terlihat sebagai organisasi puritan yang tak bersahabat dengan kultur lokal di Indonesia, seperti seni/tarian tradisional dan adat-istiadat. Kang Moeslim mengajak kita semua mengapresiasi kultur lokal dan merangkulnya sebagai bagian dari Muhammadiyah.

Demikian pula dengan buruh, tani, dan nelayan. Kang Moeslim terus mengingatkan dan mengajak anak-anak Muhammadiyah bahwa doktrin al-Ma`un (Q. 107:1-7) yang ditanamkan pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan, adalah ditujukan untuk membebaskan orang-orang tertindas, baik secara kultural maupun struktural, seperti buruh, tani, nelayan, dan juga para pekerja seks. Semangat dan misi ini selama ini terkesan telah diabaikan oleh Muhammadiyah. Selama membimbing kami, Kang Moeslim terus-menerus menyadarkan kami akan misi kenabian ini.

Agama Minoritas dan Tertindas
Tentu tak semua pesan dan nasehat mulia Kang Moeslim bisa kita lanjutkan dan wujudkan. Saya pribadi hanya bisa menekuni satu pesan Kang Moeslim, yaitu membela, dalam konteks akademik, nasib dan hak-hak kelompok agama minoritas. Inilah salah satu alasan mengapa saya mengambil program doktor dengan keahlian tentang agama-agama minoritas pecahan dari Islam, seperti Ahmadiyah, Baha’i, Isma’ili, Yazidi, dan Druze. Nasib, hak, dan posisi mereka dalam masyarakat Muslim belakangan ini sangat memprihatinkan.

Ahmadiyah di Indonesia, misalnya, menjadi kelompok keagamaan yang paling mengalami persekusi. Menurut Setara Institute (2008), dari 265 kasus intoleransi keagamaan di tahun 2008, 193 kasus (73%) berkaitan dengan Ahmadiyah. Tren ini berlangsung terus sampai sekarang. Nasib orang-orang Ahmadi ini bahkan lebih buruk dari non-Muslim secara keseluruhan.

Di negeri ini, tak banyak sarjana yang menekuni secara akademik persoalan teologi agama-agama minoritas pecahan dari Islam itu dan kemudian melakukan pembelaan secara akademik terhadap hak-hak mereka. Mengikuti kepedulian Kang Moeslim terhadap kelompok lemah dan tertindas, saya memilih bidang ini sebagai karir akademik dan sosial. Selamat jalan Kang Moeslim dan terima kasih atas segala bimbingannya. Semoga engkau damai di sisi-Nya. Amin.
--oo0oo--

*Kandidat doktor di Universitas California-Santa Barbara dan peneliti LIPI.

Availablet at: http://cetak.kompas.com/read/2012/07/09/02044198/kang.moeslim.dan.muhammadiyah

Download PDF 

Saturday, July 7, 2012

Mengenang Kang Moeslim

Mizan.com, 7 July 2012

Oleh: Ihsan Ali-Fauzi

Wafatnya Moeslim Abdurrahman, rekan senior sekaligus guru saya, Jumat malam (08/07/2012), ditangisi banyak orang. Itu tidak saja di RSCM, di mana almarhum terakhir dirawat akibat sakit gula yang sudah lama dideritanya, atau di kediamannya di Bekasi. Tapi juga di rumah pemakaman Sandiego Hills, Kerawang, di mana beliau akhirnya dikebumikan.

Saya hanya sempat ikut menyalatkan jenazahnya di Bekasi, siang keesokan harinya. Saya lihat hadir juga sejarawan Taufik Abdullah, kolumnis politik Sukardi Rinakit, Romo Muji Soetrisno, sutradara Garin Nugroho, peneliti pluralisme agama M. Syafii Anwar, Menko Ekuin Hatta Radjasa, selain aktivis HAM Usman Hamid dan Hariman Siregar. Djohan Effendy, rekan kental almarhum yang juga guru saya, mantan Mensesneg, saya dengar sudah hadir sejak pagi untuk ikut memandikan jenazah.

Salatnya sendiri dipimpin Amidhan, salah seorang Ketua MUI yang sering dikritik almarhum. Tempatnya di masjid yang ikut dibangunnya, meskipun dia, kata petugas masjid dan satpam yang menjaganya, tak pernah bersedia diminta sebagai penceramah.

Dilihat dari segi jumlah, jamaah yang ikut menyalatkan tak bisa disebut banyak. Tapi semuanya berasal dari beragam latar belakang, mencerminkan lingkup pergaulan almarhum yang sangat luas. Mereka juga mencerminkan pergaulan almarhum yang “lintas-status”, jika Anda alergi atau malu-malu menyebutnya “lintas-kelas”, satu frase yang sebenarnya biasa disebut almarhum. Mereka terdiri dari menteri atau mantan menteri hingga tukang ojek dan satpam.

Dan sekarang, di era di mana media sosial makin banyak digunakan, rasa kehilangan akan dan doa bagi almarhum memang bisa disampaikan tanpa Anda harus hadir di RSCM, Bekasi, atau Sandiego Hills. Malam sesudah beliau wafat, salawat dan doa sudah banyak disampaikan lewat Twitter, Facebook, atau SMS dan e-mail. Dari Bekasi, beberapa saat sesudah imam salat memimpin kami talqin, menjadi saksi bahwa almarhum orang baik dan layak masuk sorga, saya sendiri mengudarakan satu imbauan lewat Twitter: “Isyhadu bi anna Kang Moeslim Abdurrahman min ahl al-khayr.” Segera sesudahnya, di seberang sana, seruan saya disambut positif banyak orang: mulai dari Zuhairi Misrawi, aktivis pluralisme yang jelas NU, hingga Fadjroel Rachman, aktivis demokrasi yang jelas sekular.

Kang Moeslim, begitu kami, generasi yang lebih muda darinya, biasa memanggil almarhum, memang layak atas itu semua. Selain “anak” Muhanmmadiyah yang amat dekat dengan kalangan NU, dia juga sedikit di antara santri yang bergaul erat dengan lembaga-lembaga yang harus disebut “non-santri” di Indonesia, seperti CSIS (Center for Strategic and International Studies) atau The Jakarta Post. Penting dicatat, di semua lembaga ini, dia bukan sekadar simpatisan, tapi menjadi bagian integralnya.

Dengan selera humornya yang tinggi, tapi juga asketismenya, Kang Moeslim memang punya modal yang cukup untuk menjadi jembatan yang baik di antara berbagai kelompok. Saya duga faktor ini pulalah yang membuat sinismenya yang kadang sangat keras, misalnya kepada konservatisme Islam gaya MUI atau liberalisme ekonomi gaya Freedom Institute, bisa ditanggapi dengan rileks, tanpa sikap bermusuhan.

Tapi itu juga pasti karena pendidikannya yang di atas rata-rata santri Indonesia. Sebagai doktor antropologi dari Universitas Illinois, Urbana-Campaign, AS, Kang Moeslim punya wawasan dan nomenklatura yang membuatnya bisa diterima oleh dan berdialog dengan kalangan paling terdidik lain di negeri ini. Tak heran jika belakangan dia sangat getol mengusahakan agar lebih banyak santri dikirim ke luar negeri untuk pendidikan doktoral.

Kepergian Kang Moeslim juga ditangisi banyak orang karena dia pembangun institusi yang rajin. Selain Maarif Institute yang belakangan giat menyuarakan toleransi, dia juga mendirikan ICIP (Indonesian Center for Islam and Pluralism) yang sering mengundang pembicara asing untuk berbagi wawasan tentang pluralisme di sini. Meskipun belum tentu pemelihara institusi yang baik sebaik dia membangunnya, peran ini jarang dimainkan intelektual Muslim lain di negeri ini.

Tapi bagi saya, Kang Moeslim akan saya kenang sebagai seorang ilmuwan sosial yang rajin menyuarakan apa yang disebutnya “ilmu sosial transformatif”. Ini tercermin bukan saja dari kolom-kolomnya yang kemudian dibukukan,atau dalam disertasinya yang belakangan diterbitkan menjadi Bersujud di Baitullah, tapi dalam seluruh interaksi kami.

Jika saya tak salah ingat, kami pertama kali berjumpa di acara bulanan LIPI mengenai Islam sebagai gejala sosial di Indonesia. Itu sekitar pertengahan kedua dekade 1980-an, ketika saya masih mahasiswa di IAIN Jakarta. Waktu itu LIPI baru saja kedatangan Martin van Bruinessen, seorang antropolog Belanda, ahli mengenai Kurdi, yang datang untuk mempelajari “Pandangan Dunia Ulama di Indonesia.” Kita tahu bahwa belakangan dia menjadi salah satu peneliti paling tekun dan mencerahkan mengenai kaum Muslim santri di Indonesia, khususnya NU, dengan sisi-sisi pelengkapnya seperti fenomena kitab kuning, pesantren dan tarekat.

Singkatnya, di LIPI, tugas Martin adalah berdiskusi secara reguler dengan Taufik Abdullah dan (almarhum) Nurcholish Madjid, dua senior LIPI yang tanpa acara bulanan itu akan sulit bertemu. Dalam rangka itulah sejumlah peneliti lain, dengan minat serupa, juga dilibatkan, termasuk Kang Moeslim, yang waktu itu peneliti Balitbang Depag. Ikut juga peneliti muda seperti Wardah Hafidz dan Hermawan Sulistyo. Saya sendiri disarankan Cak Nur ikut, sebagai pendengar pasif.

Dari forum itu saya mulai mengenal Kang Moeslim sebagai peneliti yang peduli pada nasib kelompok terbawah dalam masyarakat. Komentarnya selalu berujung pada transformasi apa yang bisa dilakukan untuk kepentingan kelas itu. Darinya saya juga mulai mengenal kata “praksis”, perlunya kesatuan antara riset dan tindakan ke arah perubahan.

Belakangan, awal 1990-an, Kang Moeslim dan beberapa koleganya mulai memperkenalkan apa yang mereka sebut “ilmu sosial transformatif”. Mereka antara lain menerbitkan jurnal dengan nama itu. Mereka juga mengadakan pertemuan di antara kalangan peneliti muda sealiran di Malang. Itu dimaksudkan sebagai tandingan atas pertemuan sejenis oleh para ilmuwan sosial yang lebih mainstream, yang tergabung dalam HIPIIS (Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial) dan sedang kongres di Ujung Pandang.

Seingat saya, jurnal dan forum tandingan-HIPIIS di atas kemudian mati suri. Saya tak tahu apa sebabnya. Tapi tema dan pesan “memperjuangkan kelas bawah” terus bertahan dalam kolom-kolom Kang Moeslim di berbagai publikasi, termasuk ketika dia menjadi bagian dari managemen baru yang mengelola harian Pelita di awal 1990-an. Di kolom-kolom inilah dia memperkenalkan tokoh wong cilik yang disebutnya “Kang Thowil”, yang kemudian diterbitkan dalam buku Kang Thowil dan Siti Marjinal atau Islam Transformatif.

Tema dan pesan di atas juga menjadi dasar penulisan disertasinya di Illinois. Saya sempat menerjemahkan sarinya, yang terbit dalam buku yang disunting Mark Woodward dan edisi Indonesianya diterbitkan Mizan, Paradigma Baru Islam (1989). Di situ dia menyajikan paparan antropologis sangat menarik mengenai pengalaman haji di bawah kapitalisme Orde Baru. Dia merefleksikan pengalamannya dikontrak tiga kali sebagai pembimbing haji kelas menengah oleh sebuah biro perjalanan haji. Bersamanya, dikontrak pula sejumlah artis dan tokoh lainnya.

Dengan detail, Kang Moeslim menceritakan bagaimana dia terperangah menemukan kontras yang sangat kentara antara apa yang dipelajarinya sebagai esensi haji dengan yang dipraktikkan jamaah kelas menengah itu: ketika haji sudah menjadi tur 14 hari; dengan hotel bintang lima dan bus-bus ber-AC; di mana beberapa jamaah perempuan pergi tanpa muhrim, berjilbab sambil merokok, membaca bukan buku manasik haji melainkan majalah pop, dan bersuara lantang dalam talbiyah; ketika pulang mengenakan gelar hajjah; dan seterusnya. Dalam kasus ini, tulisnya, haji berubah fungsi: dari ibadah yang dimaksudkan antara lain untuk memperkuat kesadaran keumatan dan egalitarianisme Islam (yang antara lain disimbolkan dengan seragam ihrâm), menjadi ibadah ritual yang justru memecah-belah dan mempertegas kelas-kelas sosial.

Di situ, Kang Moeslim sedang nyinyir mengarikaturi apa yang sering dibanggakan sebagian senior kami kala itu, termasuk Cak Nur, sebagai tingkat keberagamaan kelas menengah Muslim yang meningkat. Baginya, haji kelas menengah itu bukan lagi ibadah untuk menegaskan kembali identitas keagamaan, tapi sudah menjadi simbol status dan kelas sosial.

Setahu saya, posisi keilmuan di atas terus dipertahankan Kang Moeslim hingga akhir hayatnya. Ketika terakhir kali kami berbincang agak lama, di kantor Yayasan Paramadina, dia menyindir saya dengan mengatakan bahwa saya hanya menaruh perhatian pada (aliran) Cak Nur dan tidak pada (aliran)-nya. “Sampeyan itu enggak care sama aku. Aku jealous sama Cak Nur dan Gus Dur,” selorohnya, sambil mengutip “Dua Pendekar,” kolomnya di Tempo tentang dua tokoh intelektual Muslim tadi.

Saya tak tahu seberapa serius dia waktu itu. Tapi saya ingat saya berjanji akan mempelajarinya lebih jauh -- yang tak saya lakukan, hingga dia dipanggil ke hadirat-Nya.

Menimbang-nimbangnya kini, saya masih tak yakin apakah perbedaannya dengan kedua pendekar tadi memang pada soal substansi atau pada cara dan gaya. Tapi dapat saya pastikan bahwa kita akan kehilangan seseorang yang bisa bicara ketus tapi tanpa pamrih tentang gejala yang dulu sudah pernah dicibirnya, tapi sekarang justru tumbuh lebih subur: dari dana tabungan haji yang tak terkontrol hingga korupsi kitab suci; dari ustad seleb dan kolam renang syari`ah hingga suara toa yang makin memekakkan telinga.

Kang Moeslim, biarlah kini kami terima dan jalani kutukan itu. Salam kami untuk Cak Nur dan Gus Dur. Rest in peace!***

Ihsan Ali-Fauzi, Direktur Program Yayasan Paramadina dan dosen Paramadina Graduate School (PGS), Jakarta.

Retrieved from: http://www.mizan.com/index.php?fuseaction=news_det&id=878

Friday, July 6, 2012

Obituari: Mas Moeslim dan Teologi Al Ma'un...

Oleh Hadjriyanto Y. Thohari
 
RMOL, Jum'at, 06 Juli 2012 , 23:39:00 WIB

KAMI sangat sedih dan sangat kehilangan dengan kepergian Mas Dr. Moeslim Abdurrahman, seorang aktivis yang luar biasa baik. Rasanya terlalu cepat orang yang sangat baik ini dipanggil Tuhan. Mengapa justru orang-orang yang sebaik Mas Moeslim yang lebih dulu dipanggil ke hadirat-Nya. Tetapi, subhanallah, Maha Suci Allah dengan segala ketentuan-Nya. Sebagai orang yang beriman, kami yakin ini jalan yg terbaik bagi dirinya untuk dapat segera beristirahat.

Mas Moeslim Abdurrahman adalah seorang putra Muhammadiyah yang sangat inklusif, yang bisa bergaul rapat dengan siapa saja. Moeslim, adalah orang yang sangat terbuka. Saking terbukanya pemikirannya sering dituding sebagai Muhammadiyah liberal.

Sejak pulang dari Amerika Serikat setelah lulus Ph.D di bidang Antropologi dari The University of Illinois pada tahun 1990-an, dia memang benar-benar menjadi petualang intelektual, berpindah-pindah dan meloncat-loncat dari satu bidang kegiatan ke bidang kegiatan yang lain, bahkan juga beberapa tahun di lapangan politik, yaitu PAN.

Mas Moeslim-lah yang membimbing anak-anak muda Muhammadiyah dengan caranya sendiri yang sangat unik dan inkonvensional. Tidak banyak yang tahu bahwa sebetulnya Mas Moeslim-lah yang berada di balik dinamika anak-anak muda Muhammadiyah yang tergabung dalam Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM).

Dia juga yg memperkenalkan paradigma "teologi Al-ma'un" yg mengambil inspirasi bagaimana KH Ahmad Dahlan dulu mengajarkan surat Al-Ma'un dalam Al-Qur'an. Teologi Al-Ma'un itu, singkatnya, merupakan pemahaman agama yang lebih mementingkan praksis dalam menyantuni orang-orang miskin dan kelompok yang terpinggirkan.

Bukan gerakan Islam yang gegap gempita yang mementingkan upacara-upacara untuk pencitraan, seperti mementingkan seremonial-sertemonial yang serba gegap gempita tapi setelah itu tidak ada bekasnya: "gone with the wind" seperti yang menjadi kecenderungan gerakan-gerakan Islam konvensional sekarang ini.
Melalui Teologi Al-Ma'un, Moeslim mencontoh Kyai Dahlan untuk tidak terlalu banyak mendalami agama tapi tidak diamalkan. Mengapa berpindah dari Surat Al-Ma'un ke surat yang lain dalam Al-Qur'an kalau isi surat Al-Ma'un yang memerintahkan menyantuni anak yatim dan orang miskin itu belum diamalkan?

Manifestasi dari keberpihakannya kepada kaum terpinggirkan tampak sekali ketika kami bersama-sama merintis pembentukan Majlis Buruh, Tani dan Nelayan PP Muhammadiyah periode 2000-2005. Dia orang yang sangat getol dan gigih baik dalam kerja-kerja intelektual maupun dalam kerja-kerja praksis memberdayakan kaum buruh, tani dan nelayan melalui gerakan Muhammadiyah.

So, Mas Moeslim bukan hanya concern pada gerakan intelektual. Melainkan juga gerakan praksis.
Kami sungguh sangat sedih dan sangat kehilangan dengan kepergian Mas Moeslim. Rasanya terlalu cepat orang yang sangat baik ini dipanggil Tuhan. [***]

Penulis adalah Wakil Ketua MPR RI

Retrieved from: http://www.rmol.co/news.php?id=69952

Sunday, July 1, 2012

Moeslim Abdurrahman: Fighting against religious conservatism

The Jakarta Post, Jakarta | Life | Thu, October 05 2006, 9:56 AM 


Alpha Amirrachman, Contributor, Jakarta

Muslim scholar and activist Moeslim Abdurrahman cannot hide his anxiety.

Conservatism is allegedly growing within Muhammadiyah, the country's second-largest Muslim organization, which claims to have 30 million members in Indonesia.

""I'm worried about the future of Muhammadiyah, once dubbed a modernist and reformist organization. Exclusivism and intolerance seem to be growing even stronger now,"" he told The Jakarta Post at his office in Mampang, South Jakarta.

During Tanwir (a national leadership meeting) in Bali, January 2002, together with other leaders of Muhammadiyah, Moeslim conceptualized a dakwah kultural (cultural preaching approach) that was aimed at deconstructing the monolithic interpretation of Islamic religiosity by accommodating the cultural and local values that are rich in pluralistic Indonesian society.

Nevertheless, there was strong resistance from conservative sections of Muhammadiyah, which suspected dakwah kultural as having the potential to accommodate bid'ah (heresy), regarded as being against the founding ideal of Muhammadiyah, established in 1912 by K. H. Ahmad Dahlan, to purify Islam from such belief.

As the debate continued, many narrowly interpreted dakwah kultural as a mere expression of the spread of Islamic teaching through the arts such as music and songs. During the following Tanwir in Makassar, June 2003, the concept was further distorted to the ""Islamization"" of the arts.

""Bid'ah should be re-interpreted,"" he argued, adding that although Islam has a universal principle, in practice it has been translated into ethnolocal Islam such as Nahdlatul Ulama in Java, Nahdlatul Wathan (Nusa Tenggara Barat), Mathlaul Anwar (Banten) and Darul Dakwah wal-Irsyad (Makassar).

""Nevertheless, many young members of Muhammadiyah who promote pluralism seem to do it as a mere defense, while blaming their previous leaders for destroying locality with their reform movement,"" Moeslim said, pointing that the effort has lost its substance.

Born Aug 8, 1948 to a Muhammadiyah family in Lamongan, East Java, after completing elementary school, he was sent by his parents to Raudlatul Ilmiyah Islamic boarding school in Kertosono. His parents hoped that he would become a young cleric.

But Moeslim insisted on continuing his education. Registering as a student of the Tarbiyah Program at Muhammadiyah Surakarta University and soon becoming active in student organizations, his understanding of Islamic religiosity was gradually transformed from the normative to the empirical domain, from monolithic to pluralistic interpretation.

Moeslim later received his Masters and PhD in anthropology from the University of Illinois, Urbana, U.S.
Continuing as a social activist, he became increasingly assured that the level of piety of each individual is different, depending on social and cultural factors that shape their understanding of religious doctrine.
""But they have the right to claim that they are close to God,"" he said in between puffs of a cigarette during a breaking-of-the-fast gathering at his office.

Moeslim befriended young members of Nahdlatul Ulama such as some of those at the Institute of the Empowerment of Pesantren and Society (P3M), whom he considered more progressive than those at Muhammadiyah.

He became a member of the Advisory Board of the Centre for Strategic and International Studies (CSIS), director of the Ma'arif Institute for Culture and Humanity and director of the Institute of Social Science Development (LPIS).

He once worked as a civil servant at the research and development department of the Ministry of Religious Affairs for 12 years. In the media sector, he was assistant to the editor-in-chief of Pelita daily and head of research at the Post for two years and one year respectively.

He declined positions as a permanent member of teaching staff, and instead opted to teach part-time in the graduate program of anthropology and political science of the University of Indonesia and the graduate program in anthropology and philosophy at Muhammadiyah Surakarta University.

He was also extensively involved in social activism to promote understanding that plurality is a fact of life in Indonesia, with all its diversity.

In 2000, Muhammadiyah chairman Ahmad Syafi'i Maarif persuaded him to return to Muhammadiyah. Moeslim headed the division for the empowerment of laborers, farmers and fisherman of Muhammadiyah Central Board besides being a director of al-Ma'un Institute, an organization he formed to realize his idealism.

Asked why what he perceived a growing conservatism and intolerance were to be found in Muhammadiyah, Moeslim replied, ""Due to feelings of inferiority. Generally, Muslims particularly those in Muhammadiyah, feel they have lost the battle in almost every field,"" he said.

""For example, many perceive the growing number of non-Muslim schools in big cities as a threat -- as rivals that could disturb the existence and aqidah (religious doctrine) of the Muslim ones,"" he said.
It is because of this that even the celebration of Christmas was treated as a theological rather than social matter, he said with regret.

He continued that as globalization is irresistible, there are two possible reactions from society: ""First is anxiety that everything will be attacked and replaced by new norms and beliefs. Second, total rejection of change -- toward everything coming from outside, followed by an exclusivist attitude.""

""The first is a common phenomenon that can be found in any society, any organization, or any organized religion, but the second is dangerous. I'm worried -- I hope I'm mistaken -- that Muhammadiyah is showing signs of the second reaction. If that's the case, Muhammadiyah might end up as a mere community movement,"" he warned, emphasizing that Muhammadayh was originally conceived as an urban movement.

During the 45th Muktamar (national congress) of Muhammadiyah in Malang in July 2005, which saw an end to Ahmad Syafi'i Maarif's leadership, Moeslim and other progressive leaders such as Amin Abdullah and Abdul Munir Mulkhan were sidelined by the perceived growing number of conservatives in Muhammadiyah.

Muhammadiyah scholar Pradana Boy Zulian Thobibul Fata, who is currently writing a thesis on the conservative and liberal forces within Muhammadiyah at the Australian National University, said many believed that the new leadership had flirted with powerful conservative wings to ensure their election.
But Moeslim is not losing hope. He is surrounded by a number of young and progressive Muhammadiyah members who, with his help, formed a loose organization, Muhammadiyah Youth Intellectual Network (JIMM) in 2003.

It consists of liberal-minded members such as Zuly Qodir, Tuty Alawiah, Piet Khaidir, Ahmad Fuad Fanani, Andar Nubowo and others.

Scholar Pradana Boy said that Moeslim in pinning a lot hope on these young members to provide Muhammadiyah with a new image -- now or in the future -- although he urged JIMM to be more independent and to also reach out to other senior leaders.

""The problem is that JIMM has difficulty in finding other senior intellectual patrons other than Moeslim, as Muhammadiyah lacks leaders like him with a high level of intellectuality but with strong commitment to nurture younger members,"" he said.

He added that in spite of this, the battle for minds within Muhammadiyah is unstoppable.